Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Khawatir Pak Jokowi Disalahkan

14 Oktober 2015   12:36 Diperbarui: 29 Oktober 2015   15:10 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ibu kost sedang membakar sampah"][/caption]

Saya terbangun pagi tadi sekitar jam 5. Hanya mau memenuhi kebutuhan eliminasi di KM, lalu kembali ke tempat tidur. Saya cek jadwal aktivitas, pagi hingga siang masih kosong. Lebih baik bermalas-malasan dulu, dan tanpa sengaja tertidur kembali.

Tidur yang nyenyak. Tidak ada suara-suara yang mengganggu. Pasalnya, tetangga kost sedang berlibur entah ke mana. Mungkin inilah suasana bagi saya -yang orang kekinian menyebutnya- menikmati "me time". Sendiri. Melakukan hal yang menyenangkan (tidur) tanpa diganggu.

Entah dari mana datangnya, saya merasakan adà asap yang masuk ke kamar. Bau khas asap yang cukup menyengat, menbuat saya terjaga. Udara yang saya hirup sudah tidak bersih lagi. Sesekali saya terbatuk. Beresiko kena ISPA. Apakah ini akan menjadi bencana asap nasional ?

Saya langsung beranjak ke luar kamar. Air minum dalam botol yang berjejer di meja, kuambil satu untuk berjaga--jaga memadamkan sumber api. Saya cek sumber api, belum terlihat. Hanya asap putih saja yang sudah memenuhi ruangan. Terus ke dapur, di sana tidak ada sumber api. Saya ke teras, di sana barulah terlihat sumber asap. Ternyata Ibu kost sedang membakar di halaman rumah.

Saya mendekat, "Kenapa sampahnya dibakar, Bu ?", saya bertanya dengan nada jengkel, "asap masuk ke kamar, kami sulit bernapas".

"Wah, serba salah Mas", Ibu kost menjawab tanpa menoleh, "kalau tidak dibakar, lalat banyak di tempat sampah. Kalau dibakar, ya seperti ini, kita terkena dampak asap sedikit".

Saya urungkan niat untuk membantah. Memang ini situasi sulit. Saya lebih banyak berpikir saja. Berusaha mencari solusi atau kemungkinan lain yang bisa terjadi.

Entah mengapa, saya bisa bepikiran agak lain. Maksudnya, tidak semestinya saya berpikir seperti itu. Tidak pantas. Tidak baik untuk kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Begini, saat suksesi pemilihan Presiden dan Wapres Juli 2014 lalu, Ibu kost saya tergolong Prabower garis keras. Sementara saya, sudah jelas Jokower sejati. Kami tergolong pendukung 'gelap mata', apapun kondisinya, benar atau salah, harus mempertahankan idola masing-masing.

Mengingat hal itu, saya jadi khawatir. Kalau misalnya saya mempersoalkan asap sampah tadi dan menganggap itu sebagai bencana, saya takut, justru itu dianggap sebagai salah Pak Jokowi lagi. Dianggap tidak mampu mengatasi asap. Soalnya di republik ini, sedang trend menyalahkan pemimpin. Apapun masalahnya, pemimpinlah yang pantas disalahkan.

Ahh...sudahlah..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun