Mohon tunggu...
Suharsono
Suharsono Mohon Tunggu... -

hidup akan bermakna kalau memberi manfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memajukan Daerah Melalui Perubahan Transformatif

1 September 2015   15:31 Diperbarui: 1 September 2015   16:04 2195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata kunci untuk mencapai kemajuan adalah perubahan. Tanpa adanya perubahan maka upaya yang ditempuh untuk membangun suatu daerah akan membuahkan hasil yang kurang optimal. Di tingkat kabupaten/kota upaya pembangunan di berbagai bidang dan sektor telah dilakukan, sejak era reformasi dengan diberlakukannya otonomi daerah maka setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola atau mengurusi daerahnya masing-masing.

Melalui semangat reformasi sejak 1998 atau sejak lengsernya pemerintahan orde baru, diharapkan pemerintahan di daerah dapat berjalan efektif, berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sistem pemerintahan desentralisasi diperkuat landasan hukum yang mengatur otonomi (pemerintahan daerah) telah sejalan dengan tuntutan reformasi di antaranya: demokratisasi, supremasi hukum, dan menjunjung hak asasi manusia (HAM).

Dalam dimensi lebih luas, diberlakukannya otonomi daerah di seluruh wilayah Indonesia sesungguhnya dapat dilihat sebagai langkah kebijakan untuk mengubah paradigma pendekatan dalam melaksanankan pembangunan, yaitu dari pendekatan yang dulunya top-down (dari atas ke bawah) menjadi paradigma pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) sesuai jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian maka substansi dari pelaksanaan otonomi daerah yaitu memberi kewenangan kepada masing-masing daerah untuk mengelola semua urusan rumah tangganya sendiri, kecuali hal-hal yang menyangkut kepentingan nasional (pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal, kehakiman, dan agama).

Implikasi atas dilaksanakannya pengalihan kewenangan (sharing or power) tersebut, maka sangat memungkinkan suatu daerah untuk mampu merumuskan program-program pembangunan melalui kebijakan yang lebih responsif dan aspiratif terhadap masyarakatnya sehingga fungsi dan peranan pemerintah daerah menjadi sangat penting.

Supaya pemerintah daerah dapat berfungsi dan berperanan secara optimal, maka di satu sisi dituntut untuk bisa serta mampu mengimplementasikan perundangan yang mengatur otonomi yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan di sisi lain juga dituntut untuk mampu mengidentifikasi karakteristik dan spesifikasi daerah yang dikelolanya.

Dalam rangka untuk mencapai otonomi tersebut, banyak unsur yang harus dipenuhi yaitu: (1) memiliki perangkat pemerintahan sendiri, (2) memiliki urusan rumah tangga daerah sendiri, ditandai dengan adanya Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, DPRD, dan pegawai daerah, (3) memiliki sumber keuangan sendiri, melalui penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah, pendapatan dinas-dinas daerah, (4) memiliki wewenang atas inisiatif sendiri (di luar instruksi dari pemerintah pusat/atasan) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Adapun wewenang dalam hal ini misalnya: menyusun/membuat peraturan daerah, menyusun rencana pembangunan daerah dan mengajukan rencana usulan pembangunan daerah, dan sebagainya.

Perlu diketahui bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan semangat reformasi yang yang sudah berjalan selama 16 (enambelas) tahun lebih ternyata belum mampu mengubah kondisi daerah secara optimal. Luasnya spektrum pembaruan dalam rangka pemberdayaan rakyat di daerah untuk menata kembali kehidupan yang lebih demokratis belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan, malahan disana-sini terlihat menyisakan persoalan terutama berkait dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang terbatas.

Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz (dalam: http://www.voaindonesia.com), otonomi daerah memicu lahirnya praktik korupsi di daerah. Pasca otonomi daerah kewenangan dan dana untuk pemerintah daerah ditambah, hal ini juga menjadi pemicu lahirnya praktik-praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah.

Lebih jauh ditambahkan, dalam catatan ICW, hingga tahun 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari 20 gubernur, satu wakil gubernur, 17 walikota, 8 wakil walikota, 84 bupati dan 19 wakil bupati.

Kasus-kasus yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa implementasi otonomi daerah kurang dipahami atau tidak dilaksanakan secara konsisten, semangat reformasi hanya dimaknai sebatas kulitnya, bahkan terjebak pada kubangan euforia. Akibat euforia reformasi yang terlalu lama maka habislah waktu, tenaga, biaya yang telah dikeluarkan selama ini dan belum membawa manfaat bagi kemajuan daerah.

Padahal, otonomi daerah itu sendiri sejatinya sebagai upaya memberdayakan rakyat di daerah. Tujuannya untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan keistimewaan suatu daerah. Pemerintah daerah dan DPRD menyelenggarakan tugas pemerintah dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya.

Kecenderungan masih timpangnya pelaksanaan otonomi daerah tak lain dikarenakan proses perubahan yang seharusnya dilakukan tidak dibarengi/tidak menyentuh pola pikir atau mindset (menyangkut: mental/sikap/perilaku). Terutama para tokoh-tokoh formal yang menjabat sebagai pengambil kebijakan di daerah belum serta-merta mengubah cara pandang (paradigma) di dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

Demokrasi yang dibangun sejak reformasi bergulir ternyata belum menunjukkan citranya, bahkan ada kecenderungan demokrasi hanya diartikan secara sempit, sebatas hajatan politik dalam pemilihan umum atau proses penggantian pimpinan di daerah. Manfaat yang dapat dipetik dalam proses demokratisasi di daerah belum mampu meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik.

Sekali lagi, hal itu terjadi karena proses perubahan yang terjadi selama ini yaitu dari pemerintahan orde baru ke era pemerintahan reformasi tidak dibarengi transformasi penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam watak kekuasaan. Dengan perkataan lain, karakter kekuasaan yang terbangun selama ini masih melayani kebutuhan sendiri, bukan melayani kebutuhan rakyat yang ada di daerahnya. Revolusi mental menjadi pilihan dan harus dilakukan bilamana menghendaki perubahan yang signifikan.

Kalaupun belakangan ini masih sering dikumandangkan bahwa perangkat pemerintah daerah adalah sebagai pelayan masyarakat, abdi masyarakat, dan sebagainya – itupun jangan hanya menjadikan jargon-jargon politis seperti halnya mengumbar janji dan menjual mimpi.

Membangun dan memajukan daerah dalam rangka memberdayakan rakyat dan potensi yang dimiliki memang tidak semudah membalik telapak tangan. Kontribusi nyata dalam perumusan dan pengambilan kebijakan yang pro rakyat masih selalu dinantikan.

Konsistensi dan komitmen para pimpinan dan segenap aparatur di setiap daerah untuk mengimplementasikan tugas pokok dan fungsi yang diemban merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi dalam menjalankan asas pemerintahan desentralisasi (otonomi).

Ini penting dipahami, karena otonomi daerah sebagai kebijakan pengalihan kewenangan (sharing of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sebagai upaya pemberdayaan rakyat di daerah seperti: peningkatan kualitas pelayanan administrasi (misalnya: identitas penduduk, perizinan), pelayanan infrastruktur (misalnya: jalan raya, jaringan irigasi, transportasi, dan saluran pembuangan), pelayanan kebutuhan dasar (misalnya: pangan, air minum, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, rasa aman, jaminan sosial, lingkungan bersih dan hijau), serta pelayanan penerimaan daerah.

Semuanya perlu dikemas dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan daerah yang berpihak kepada rakyat, memenuhi kepentingan rakyat seiring perubahan transformatif oleh para penyelenggara pemerintahan di daerah. (SHS).

Catatan:

Transformasi, dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai: proses perubahan bentuk penampilan atau karakter secara total (change completely the appearance or the character of).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun