Kata kunci untuk mencapai kemajuan adalah perubahan. Tanpa adanya perubahan maka upaya yang ditempuh untuk membangun suatu daerah akan membuahkan hasil yang kurang optimal. Di tingkat kabupaten/kota upaya pembangunan di berbagai bidang dan sektor telah dilakukan, sejak era reformasi dengan diberlakukannya otonomi daerah maka setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola atau mengurusi daerahnya masing-masing.
Melalui semangat reformasi sejak 1998 atau sejak lengsernya pemerintahan orde baru, diharapkan pemerintahan di daerah dapat berjalan efektif, berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sistem pemerintahan desentralisasi diperkuat landasan hukum yang mengatur otonomi (pemerintahan daerah) telah sejalan dengan tuntutan reformasi di antaranya: demokratisasi, supremasi hukum, dan menjunjung hak asasi manusia (HAM).
Dalam dimensi lebih luas, diberlakukannya otonomi daerah di seluruh wilayah Indonesia sesungguhnya dapat dilihat sebagai langkah kebijakan untuk mengubah paradigma pendekatan dalam melaksanankan pembangunan, yaitu dari pendekatan yang dulunya top-down (dari atas ke bawah) menjadi paradigma pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) sesuai jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian maka substansi dari pelaksanaan otonomi daerah yaitu memberi kewenangan kepada masing-masing daerah untuk mengelola semua urusan rumah tangganya sendiri, kecuali hal-hal yang menyangkut kepentingan nasional (pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, moneter dan fiskal, kehakiman, dan agama).
Implikasi atas dilaksanakannya pengalihan kewenangan (sharing or power) tersebut, maka sangat memungkinkan suatu daerah untuk mampu merumuskan program-program pembangunan melalui kebijakan yang lebih responsif dan aspiratif terhadap masyarakatnya sehingga fungsi dan peranan pemerintah daerah menjadi sangat penting.
Supaya pemerintah daerah dapat berfungsi dan berperanan secara optimal, maka di satu sisi dituntut untuk bisa serta mampu mengimplementasikan perundangan yang mengatur otonomi yaitu UU tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan di sisi lain juga dituntut untuk mampu mengidentifikasi karakteristik dan spesifikasi daerah yang dikelolanya.
Dalam rangka untuk mencapai otonomi tersebut, banyak unsur yang harus dipenuhi yaitu: (1) memiliki perangkat pemerintahan sendiri, (2) memiliki urusan rumah tangga daerah sendiri, ditandai dengan adanya Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, DPRD, dan pegawai daerah, (3) memiliki sumber keuangan sendiri, melalui penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah, pendapatan dinas-dinas daerah, (4) memiliki wewenang atas inisiatif sendiri (di luar instruksi dari pemerintah pusat/atasan) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Adapun wewenang dalam hal ini misalnya: menyusun/membuat peraturan daerah, menyusun rencana pembangunan daerah dan mengajukan rencana usulan pembangunan daerah, dan sebagainya.
Perlu diketahui bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan semangat reformasi yang yang sudah berjalan selama 16 (enambelas) tahun lebih ternyata belum mampu mengubah kondisi daerah secara optimal. Luasnya spektrum pembaruan dalam rangka pemberdayaan rakyat di daerah untuk menata kembali kehidupan yang lebih demokratis belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan, malahan disana-sini terlihat menyisakan persoalan terutama berkait dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang terbatas.
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz (dalam: http://www.voaindonesia.com), otonomi daerah memicu lahirnya praktik korupsi di daerah. Pasca otonomi daerah kewenangan dan dana untuk pemerintah daerah ditambah, hal ini juga menjadi pemicu lahirnya praktik-praktik korupsi yang dilakukan kepala daerah.
Lebih jauh ditambahkan, dalam catatan ICW, hingga tahun 2013 ada 149 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kepala daerah tersebut terdiri dari 20 gubernur, satu wakil gubernur, 17 walikota, 8 wakil walikota, 84 bupati dan 19 wakil bupati.
Kasus-kasus yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa implementasi otonomi daerah kurang dipahami atau tidak dilaksanakan secara konsisten, semangat reformasi hanya dimaknai sebatas kulitnya, bahkan terjebak pada kubangan euforia. Akibat euforia reformasi yang terlalu lama maka habislah waktu, tenaga, biaya yang telah dikeluarkan selama ini dan belum membawa manfaat bagi kemajuan daerah.