Joko menelan ludah. Dia tahu, dalam keadaan normal, dipanggil Pak Budi bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi dalam kondisi seperti ini, dengan celana robek dan rambut yang masih berminyak. Dengan langkah gontai, ia menuju ke ruangan bosnya, berharap panggilan ini bukan awal dari petaka yang lebih besar.
Sesampainya di depan pintu, Joko mengatur napas, mencoba terlihat setenang mungkin meski rasanya ingin lari. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati.
"Masuk!" teriak Pak Budi dari dalam.
Joko mendorong pintu dengan pelan, dan begitu masuk, ia langsung mendapati Pak Budi sedang duduk dengan ekspresi datar, menatapnya tanpa ekspresi. Di belakang Pak Budi, ada papan tulis besar dengan tulisan tangan yang sangat berantakan. Sejenak, Joko tak yakin apakah Pak Budi sedang membuat diagram strategi atau peta harta karun.
"Joko," kata Pak Budi dengan nada serius, "kamu tahu kenapa saya panggil kamu ke sini?"
Joko menggeleng pelan, sambil berusaha mempertahankan senyum canggungnya. "Belum, Pak. Ada apa, ya?"
Pak Budi menghela napas panjang. "Hari ini kita kedatangan klien besar dari luar negeri. Mereka mau lihat presentasi kita tentang proyek baru. Dan kamu yang akan presentasi."
Joko tersentak. "Saya, Pak?"
Pak Budi mengangguk. "Ya, kamu. Siap-siap. Mereka akan datang dalam waktu satu jam. Saya harap kamu sudah siap dengan presentasinya."
Wajah Joko memucat. Dalam pikirannya, ia sudah bisa membayangkan bencana berikutnya: celana sobek, rambut yang berminyak kecap, noda kopi di baju, dan sekarang dia harus memberikan presentasi di depan klien besar?
"Eh, Pak, mungkin---mungkin ada orang lain yang lebih cocok..." Joko berusaha mencari jalan keluar.