Mohon tunggu...
Suhandi Hasan
Suhandi Hasan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Achiver

Ambonese (de yure), Celebes (de facto)

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Merawat Indonesia, Lawan Ujaran Kebencian lewat Literasi Digital

28 Juli 2018   02:04 Diperbarui: 28 Juli 2018   02:09 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di berbagai belahan dunia ini, dimanapun itu, musuh utama kemanusiaan adalah diskriminasi dan kekerasan terhadap Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA). Sebab diantara prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM) adalah larangan atas tindak intoleransi, diskriminasi dan kekerasan terhadap seseorang atau kelompok.

Secara global, prinsip tersebut kemudian dengan tegas dirumuskan dalam sebuah Resolusi Dewan HAM PBB No. A/HCR/16/18, yang dikenal dengan Resolusi 16/18 tentang "Melawan intoleransi, stereotyping negative, pemberian stigma, diskriminasi, incitement kekerasan, dan tindak kekerasan terhadap perseorangan atas dasar agama atau kepercayaan".

Selanjutnya, resolusi ini dijadikan jalan tengah diantara berbagai macam blok aliran dan agama di dunia, terutama dari kelompok-kelompok agama dan kelompok-kelompok HAM yang menekankan pada jaminan hak kebebebasan berekpresi dan berkeyakinan.

Indonesia, sebagai salah satu negara yang berkomitmen melawan diskriminasi intoleransi dan kekerasan ektrimis, turut berperan penting dalam mengkomunikasikan antara negera-negara Barat dan negera-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI), sehingga resolusi tersebut dapat disepakati secara consensus.

Maka dari itu, selain pasal 27, 28 dan 29 UUD 1945, resolusi ini menjadi penting untuk dijadikan rujukan dalam mengelola kehidupan beragama dan berkeyakinan, khususnya dalam membangun masyarakat yang toleran, harmonis dan, saling menghormati hak kebebasan beragama masing-masing.

Wajah Intolerasnsi, Diskriminasi Dan Kekerasan Di Era Digital  

Tak dapat dipungkiri bahwa intoleransi, diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia telah menjadi perhatian seluruh komunitas internasional. Selain itu, setiap negara tentunya memiliki permasalahan masing-masing berkaitan dengan hal tersebut. Terutama pada masa sekarang, di era digital.

Dalam bahasa awam, era digital merupakan sebuah istilah untuk mendefenisikan perkembangan teknologi, infromasi dan komunikasi berbasis internet. Era ini kemudian melahirkan terminologi media baru. Kata "baru" yang tersemat pada media merujuk kepada aksesibilitas yang digunakan. Artinya, jika dahulu pasar dikuasai oleh media konvesnsional (media cetak dan elektronik), kini bergeser pada teknologi internet. 

Semakin masifnya penggunaan media komunikasi berbasis internet kian menegaskan bahwa digitalisasi itu sedang kita rasakan. Digitalisasi teknologi, komunikasi dan informasi yang terjadi sekarang ini menyebabkan akses informasi menjadi semakin terbuka. Akibatnya, semua orang dengan mudah dapat memperoleh informasi dari internet.

Dari berbagai data di tahun 2016, sedikitnya 7,4 miliar jiwa telah menggunakan internet, angka ini menunjukan hampir seluruh masyarakat dunia. Artinya, akan sebanyak itu pula lalu-lalang informasi pada lalu lintas internet di masa kini dan nanti.

Situs jejaring sosial atau lebih dikenal dengan nama media sosial, anak kandung yang lahir dari rahim era digital, merupakan kanal yang paling digandrungi warganet. Di Indonesia sendiri, bedasarkan laporan Tetra Pak Index 2017, dari 132 juta pengguna internet, 40% diantaranya merupakan penggila media sosial[1]. Semakin mudahnya mengkases internet mengakibatkan tak ada lagi batasan golongan tertentu untuk bisa mendapat akun di media sosial, sehingga layaknya WC umum, media sosial bisa diakses semua orang, termasuk kelompok- kelompok yang menyebarkan paham intoleransi dan ekstrimis.

 Menurut Muthohirin, dikutip dari Geotimes, pemanfaatan media sosial menjadi cara baru bagi kelompok radikal dalam menyebarkan benih-benih ideologi mereka[2].  Dunia maya telah menjadi kekuatan nyata yang menghubungkan soliditas dan militansi kelompok radikal hingga ke lintas negara, termasuk Indonesia. Keberadaan media sosial memberikan kemudahan dalam berinteraksi dan pengorganisasian.

Di tengah maraknya aktivitas media sosial, ada saja oknum maupun kelompok penganut paham ekstrimis, mereka yang menghalalkan jalan kekerasan sekaligus menjunjung tinggi diskriminasi intolerasi, berhasil memanfaat 'anugerah' yang terselip media sosial.

Dengan mudahnya, mereka menyebarkan pemahamannya yang bertujuan mengacaukan kehidupan harmonis dan mengancam kebhinekaan tentunya. Padahal kehidupan harmonis yang dibalut kebhinekaan adalah komitmen semua warga Indonesia untuk tunduk dan patuh pada Pancasila sebagai ideologi bangsa dan UUD 1945 sebagi pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

Pemblokiran dan UU ITE Sebagai Solusi ? 

 Hal ini tentu saja mendapat respon dari pemerintah Indonesia, melaui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pemerintahmemblokirwebsite, fanpage serta akun media sosial yang terbukti radikal dan melakukan hate-speech (ujaran kebencian) berbau isu SARA. Selain itu, jeratan Undang-Undang Informasi dan Transksi Elektronik (UU ITE) no. 19/2016, turut menajdi instrument dalam memberantas individu atau kelompok tertentu yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan, suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA).

Dari catatan Keminfo, sedikitnya 814.954 situs yang dianggap radikal telah diblokir pemerintah. Selain itu, sejak 28 Agustus 2008 hingga kini, Safenet mencatat ada 219 laporan kepolisian menggunakan pasal UU ITE. Setidaknya ada 35 aktivis yang dijerat pasal karet, 28 di antaranya terjadi pada 2014. Kelompok aktivis yang paling rentan dipidanakan adalah para penggiat anti-korupsi, aktivis lingkungan, dan jurnalis[3]. Upaya pemerintah ini menjadi bukti tersendiri kalau aktivitas-aktivitas SARA sangat mudah bertebaran di media sosial.

 Namun benarkah pemblokiran dan jeratan UU tersebut menjadi solusi dalam melawan radikalisme di dunia maya? Terlepas keliru atau tidaknya tindakan pemblokiran dan jeratan UU tersebut, tindakan ini terkesan berpola seperti "intoleransi". Apa bedanya tindakan yang dilakuakan pemerintah saat dengan para ekstrimis-intoleransi?

Solusi yang dilakukan sekarang tak ubahnya memusnahkan si 'kafir' dengan mengebom satu gedung tertentu; padahal tak semua 'kafir' yang ada di gedung tersebut. Apalagi dalam beberapa kasus terkesan "asal gebuk" sebab beberapa kasus intoleransi dan ektrimisme di proses secara serius dan beberapa juga  terkesan sengaja dibiarakan. 

Sehingga, diperlukan cara lain yang lebih berdampak jangka panjang. Tentunya, dengan langkah yang tidak 'asal' gebuk, sebab yang namanya 'asal', merupakan tindakan serampangan, terbawa tensi yang lagi tinggi-tingginya, dan menafikan pertimbangan rasio yang lebih matang.

Literasi Digital Harga Mati

 Seiring internet dan gawai dapat dengan mudah diakses publik serta keterbukaan informasi yang semakin "telanjang", maka kemudian yang terjadi ialah batas antara kebohongan dan kebenaran menjadi tak kasat, selain itu fiksi dan nonfiksi semakin kabur. Beberapa orang kemudian menyebut era in sebagai masa'post-truth' atau pascakebenaran. Yakni sebuah kondisi dimana media informasi telah menjadi milik semua individu sehingga semua orang dengan mudah dapat menyebarluaskan pemikiran maisng-masing, termasuk yang ektrimism dan intoleransi.

Dalam perkembangan seperti ini, ketika setiap individu mampu memproduksi informasi dan bahkan menjadi "media" dengan akun-akun berpengikut ribuan bahkan jutaan di smedia sosial, maka sindikat kelompok terorganisir penyebar konten SARA seperti SARACEN adalah hal lumrah. Alasan utamanya tidak lain ialah uang dan kepentingan politik semata.  Akses internet yang semakin tinggi serta penggunaan gawai yang semakin mudah, seharusnya diimbangi dengan literasi digital masif pula.

Sebagai sebuah ketrampilan membaca, menyimak dan menulis yang dilakukan melalui komputer, internet (blog, media sosial, web) dan telepon pintar, literasi digital, sangatlah penting agar warga Indoensia, khusunya genersi millennial tumbuh dalam suasan digital yang kondusif dan jauh dari ujaran kebencian, diskriminasi dan intoleransi.

Sosial media sebagai alat utama melawan bentuk-bentuk diskriminasi dan intoleransi sangatlah vital. Sebab pada era ini, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sekarang, terutama generasi muda dimana hampir segala aktifitas yang dikerjakan diunggah ke akun sosial media.

Media Sosial Sebagai Alat Perlwanan 

Pengguna media sosial yang terus meningkat dari tahun ke tahun sejatinnya dapat mendorong kemajuan, merekatkan komunikasi dan interaksi masyarakat yang terpisah jarak dan waktu. Berbagai pesan positif juga dapat ditransmisikan melalui situs jejaring sosial ini yang akses dan biayanya relatif murah dan bersifat realtime. Itulah sebabnya, sosial media menajdi alat yang sangat kuat dalam melawan diskriminasi intoleransi dan kekerasan ekstrimis.

Untuk itu, dukungan terhadap pemerintah untuk bekerjasama dengan perusahaan media sosial dalam upaya melawan gerakan ekstrimis dan intelorenasi menjadi hal mutlak. Namun tak kalah penting adalah, adanya kerjasama berbagai pihak seperti lembaga pengkajian (LIPI), vlogger dan tentu saja penggiat media sosial untuk terus menerus mentransformasikan kesadaran kritis pada warganet tentang informasi. Sehingga warganet semakin cerdas dalam bersosial media.

Kemudian mereka akan memiliki kemampuan untuk memilah informasi yang diperoleh sehingga tidak mudah terpengaruh dengan konten radikal dan tidak akan mudah memposting hal-hal yang dapat merusak kerukunan. Sehingga semakin kecil potensi untuk adanya diskrimiansi intoleransi dan kekerasan ektrimis.

Sumber 

[1] Detikinet, (29 September, 2017) Juta Pengguna Internet Indonesia, 40% Penggila Medsos, diakses pada tanggal 31 Januari 2018 dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-3659956/132-juta-pengguna-internet-indonesia-40-penggila-medsos.

[1] Geotimes, (20 Juli, 2017)Media Massa Sebagai Kendali Anti-terroisme, diakses pada tanggal 31 Januari 2018 dari https://geotimes.co.id/opini/media-massa-sebagai-kendali-antiterorisme/.  

[1] Tirto.id (02 Oktober, 2017) diakes pada tanggal 31 januari 2018 dari https://tirto.id/postingan-jonru-terciduk-uu-ite-cxDt.

[1] Detikinet, (29 September, 2017) Juta Pengguna Internet Indonesia, 40% Penggila Medsos, diakses pada tanggal 31 Januari 2018 darihttps://inet.detik.com/cyberlife/d-3659956/132-juta-pengguna-internet-indonesia-40-penggila-medsos.

[2] Geotimes, (20 Juli, 2017)Media Massa Sebagai Kendali Anti-terroisme, diakses pada tanggal 31 Januari 2018 darihttps://geotimes.co.id/opini/media-massa-sebagai-kendali-antiterorisme/.  

[3] Tirto.id (02 Oktober, 2017) diakes pada tanggal 31 januari 2018 darihttps://tirto.id/postingan-jonru-terciduk-uu-ite-cxDt.

Salam Kompasianer Amboina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun