Belum lama ini kita dihebohkan dengan tertangkap tangan oknum pejabat eselon I BPK (RS) dan Auditor (AS) dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK terkait dugaan pemberian predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) salah satu lembaga negara pada Jumat, 26 Mei 2017 mengejutkan sekaligus membuat kita marah. Bagaimana tidak, kredibilitas  BPK yang dipercaya masyarakat mengaudit 3 ribu triliun uang negara tiap tahun (APBN/APBD) harus tercoreng oleh ulah oknum yang tidak bertanggungjawab.Â
Imbasnya-pun tak tangung-tanggung, predikat WTP diberikan BPK yang menjadi prestise dan kebanggaan bagi Kementerian/Lembaga Negara/ Pemda ternyata dalam prosesnya diduga bermasalah. Berbagai tudingan adanya dugaan permainan dalam proses pemberian WTP inipun bermunculan. Salah satunya diungkapkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) yang sudah mendengar sejak lama adanya kabar bahwa status WTP diperjual belikan oleh oknum di BPK (http://nasional.kompas.com/read/2017/05/27/06121191/ada.ott.kpk.fitra.nilai.mitos.jualbeli.status.wtp.di.bpk.terpecahkan).Â
Namun sebagai negara hukum, kita belum bisa memvonis oknum tersebut bersalah atau tidak sebelum adanya putusan hukum yang bersifat inkrah, apalagi menggenelisir kesalahan oknum pada lembaga BPK secara umum, tentu kurang bijak. Asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) senantiasa harus dikedepankan.
Menjadi permasalahan yang harus diluruskan adalah adanya pandangan menganggap Kementerian/Lembaga Negara/Pemda yang memperoleh WTP selama ini pasti bebas dari korupsi. Gayung-pun bersambut, banyak juga kepala daerah yang salah mengartikan opini WTP sebagai satu-satunya tolak ukur menyatakan daerahnya bebas dari korupsi (karena sudah mendapat opini WTP dari BPK). Sehingga tidak jarang dalam debat Pilkada, opini WTP menjadi barang dagangan calon kepala daerah incumbent baik Gubernur, Bupati atau Walikota untuk mengklaim daerah yang dipimpinnya bersih dari korupsi. Pandangan ini haruslah diluruskan.Â
Bahwa benar jika opini WTP adalah pemberian penghargaan tertinggi atas penyajian atau kesesuaian Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) terhadap Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Â Namun mengklaim opini WTP menjamin tidak ada korupsi atau bebas dari korupsi adalah pandangan yang keliru. Karena pemberian opini yang diberikan BPK dasar pertimbangannya adalah "kewajaran" penyajian Laporan Keuangan (LKPP/LKPD) sesuai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Kewajaran yang dimaksud adalah kebenaran atas suatu transaksi, bukan mendasar kepada apakah pada entitas tertentu terindikasi/terdapat korupsi atau tidak.
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara merupakan tugas dan wewenang BPK. Adapun pemeriksaan tersebut mencakup Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 ayat (1 dan 3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Pemeriksaan Keuangan merupakan pemeriksaan untuk memberikan opini apakah laporan keuangan wajar seusai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) atau tidak.Â
Dalam pemeriksaan keuangan inilah BPK dapat memberikan opini berupa Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (TMT) dan Tidak Wajar (TW) terhadap Kementerian/Lembaga Negara/ Pemda. Sementara Pemeriksaan Kinerja merupakan pemeriksaan untuk menilai apakah pelaksanaan suatu program sudah berjalan secara efeketif, efesien dan ekonomis.Â
Sedangkan, Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu merupakan pemeriksaan selain dua jenis tersebut, termasuk disini adalah pemeriksaan investigatif untuk mengungkap adanya korupsi atau kecurangan (fraud), pemeriksaan lingkungan, pemeriksaan atas pengendalian intern, dan lain-lain. Jadi jelas, dari ketiga jenis dan tingkat  pemeriksaan ini, Pemeriksaan Keuangan yang memberikan opini atas laporan keuangan tidaklah sampai menyasar pada tindakan korupsi atau tidak, melainkan hanya sebatas kewajaran laporan keuangan dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Sehingga tidak jarang meskipun suatu daerah mendapat opini WTP tapi Gubernur, Bupati/Walikotanya harus meringkuk di sel penjara karena korupsi. Ini disebabkan opini WTP tidak bisa dijadikan tameng dan menjamin suatu daerah bebas dari korupsi.
Urgensi Dibentuknya Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBK/WBBM).
Dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, Reformasi Birokrasi menyasar tiga komponen hasil utama yakni peningkatan kapasitas dan akuntabilitas organisasi, pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN, dan peningkatan pelayanan publik. Tidak mudah untuk mewujudkan sasaran tersebut karena dalam implementasi banyak hambatan dan kendala, antaralain lemahnya pengawasan, banyaknya penyalahgunaan wewenang dan praktek KKN. Sehingga untuk mengantisipasi hambatan dan kendala  ini, diperlukan budaya kerja reformasi birokrasi yang anti korupsi dan dan melayani publik yaitu membangun pilot projectunit kerja berupa pembangunan  Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBK/WBBM) bagi Kementerian/Lembaga Negara/ Pemda.
Zona Integritas merupakan predikat yang diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen untuk mewujudkan WBK/WBBM melalui reformasi birokrasi, khususnya dalam hal pencegahan korupsi dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Berpedoman pada Permenpan RB Â Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di lingkungan Instansi Pemerintah, langkah untuk membangun unit kerja Zona Integritas WBK/WBBM adalah sebagai berikut:Â