Mohon tunggu...
Suhandayana Day
Suhandayana Day Mohon Tunggu... profesional -

PeGiat EDUMEDIART [ Edukasi, Media, Art ] antar institusi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karapan Sapi Sungsang

17 Januari 2012   10:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:46 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PESTA tradisi karapan. Usai menghelat laut jadi ikan, menderek kebun jadi jagung atau tembakau, menggurat getah jadi batik tulis Madura, saatnya penduduk negeri garam meliburkan diri, membuka hajatan di desa masing-masing. Puncak semangat paguyuban dan patembayan lantas dibingkai event balapan lembu alias karapan sapi.

Ikon paling tersohor, Karapan Sapi, asli dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada setiap pacuan ternak termahal, sapi -yang juga masih dipakai petani membajak tanah sawah, sungguh meriah. Sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu, tempat joki berdiri menghela sepasang sapi, dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan biasanya berjarak tempuh sekitar 100 meter. Persaingan yang selalu disambut tempik-sorak penonton itu hanya berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit.

.

.

Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September hampir setiap tahun. Pertandingan final akan disabung akhir September atau Oktober di kota Pamekasan. Dulu, ajang final sangat ramai menyedot wisatawan domestik dan mancanegara, karena dipromo pakai jurus perebutan Piala Bergilir Presiden.

Karapan sapi melesat mengelilingi arena pacuan dengan iringan gamelan Madura, saronen. Babak pertama menentukan kelompok menang dan kelompok kalah. Babak kedua menentukan juara kelompok kalah, dan babak ketiga mengadu antar juara kelompok menang. Piala Bergilir Presiden hanya diberikan setelah beradu kelompok menang.

Denyut spontanitas rakyat tradisional semacam ini selanjutnya selalu dikemas menjadi komoditas pariwisata dan simbol perlawatan / persahabatan antara negara. Tak ketinggalan, atas jasa seniman, ikon dipajang di ruang hijau yang sempit sebagai patung monumental walau tak dimaksudkan (disengaja) sebagai gambaran ketertinggalan budaya. Pelancongan dengan ikon etnik dikibarkan dengan proposal penggemukan devisa. Maka, seni tradisional dari Madura itu pun disemat pada sebuah produk mikro moneter Indonesia. Pemerintah menerbitkan uang logam rupiah bergambar karapan sapi. Koin berbahan campuran kuningan itu mengusung nominal Rp. 100,00 dan sudah ditarik peredarannya oleh Bank Indonesia.

Perlakuan atas sapi pacuan pernah menuai protes keras dari komunitas pelestari dan penyayang binatang. Demi sapi berlari kencang, joki melakukan tindakan kasar menekuk ekor, menggurat atau menusukkan paku di bokong sapi-sapi. Tak ayal, di kemudian hari muncul himbauan dan tindakan Bakorwil Pamekasan untuk mengadakan lomba karapan sapi tanpa kekerasan.

Masih terngiang promosi wisata: Jika karapan sapi tidak ada yang menjaga dan melestarikan, jangan kaget kalau suatu saat, mungkin sejak dua tahun mendatang, ia akan punah perlahan. Atau, kita diam saja itu dijiplak negara lain. Entah, kita enaknya berbuat apa.

Kisah nyata di atas kini sudah tidak semencorong dulu ketika karapan sapi menjadi primadona obyek pariwisata Jawa Timur, Indonesia, maupun bagi Asia Tenggara. Sesekali hanya rupa seremonial biasa saja, tapi cukup mendapat sambutan diam-diam bagi peminat adu nasib, hajatan karapan sapi sebagai pengganti media taruhan.

Sementara, kesan aku tentang situasi Indonesia sampai malam ini, karapan sapi telah menjelma di langit sub-generasi, malah melintas-lintas di sudut kehidupan aktual. Itu! Baru saja kau lihat, Karapan Sapi Sungsang! Sang kusir, sapi perlente, menghela wakil rakyat dan kaum jelata. Kedua binatang ideolog itu melaju tak seirama, beda haluan, berseberang marka tujuan. Tapi, tak dapat memisah. Perekat yang dihembus konglomerasi hitam terlalu kuat, menerkam gerakan produktif agar tunduk berubah konsumtif.

.

.

Pacuan berlangsung di tanah agraris semi industrial metropolis malu-malu dan melayari samudera bahari. Kayu pematek rakyat dan wakilnya tersorok-sorok membajak budi pekerti dan hasil bumi. Perhelatan ditarik dikendali dari menara tinggi tersembunyi. Namun, perlombaan hartawi ini tak juga berkesudahan, tak ada piala presiden dari negeri asia ataupun dari raja minyak.

Perut garba pertiwi bakal terus melahirkan situasi sungsang, balapan sungsang. Ini memang dimaui orang-orang seperti Soros dkk melalui promo internasional berlabel IMF, demokrasi, dan hak asasi manusia. Permainan merendahkan mental kebudayaan belum usai. Perlu amandemen UUD dan aturan penjamin kelangsungan pentas Karapan Sapi Sungsang. Para keturunan pencetus uang bergambar tinggal satu matamu, beserta rombongan pendukung dolar (ada sederet pejabat dari negeri kolam susu terlibat) tetap ingin melancong menikmati pacuan dari dekat, bertepuk tangan seraya membawa milikmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun