Ā Ā .
Ā Ā Ā Mulut-mulut berdecak mengikuti alur keadaan. Sambit sambut berterusan, perbandingan kerap hadir hardik kenyataan. Setiap peristiwa sesakan diri, mencak-mencak dalam kesunyian.
Ā Ā Sembilu di dada tak terperi. Air mata tak mau muncul, pergi sebelum pergi. Geladakan berantakan mental menghadapi sambit sambut yang berterusan.
Ā Ā Serangan tak mau usai, yang diserang bungkam. Hatinya hancur tak karuan. Pergi menyusup, menguasai diri---hasrat menggebu untuk tak lagi tinggal di situ.
Ā Ā Rasa telah mengelabui segala, merasa paling benar adalah cara tepat dan jitu untuk memberantas setiap hentakan perlawanan yang berpotensi mengalahkan rasa yang salah dijaga.
Ā Ā Di situ pergi menjadi sahabat terindah, dari menetap. Buat apa melawan yang tak pernah mau tahu diri? Menyerocos panjang tambah kali lebar yang selalu membuat ketar ketir berdebar.
Ā Ā Salah memang, namun jika dikerdilkan seperti muntahan pukulan yang diarahkan kepada para penjahat---untuk alasan apa lagi Dibersamai. Bagus jaga jarak secukupnya, dengan tidak melupakan pembelajaran.
Ā Ā Setiap kita adalah pemalas pada titiknya masing-masing. Kalau malas pada titik yang tidak tepat, kelirulah. Tapi semua pernah begitu. Mulut dimonyongkan---sudah monyong tambah monyong---padahal sudah dower pula sebelum---nasib buru, rasa neraka di dunia.
Ā Ā Membalut perban di kepalanya, dengan semangat buta. Buta tak mau melihat nasib yang jauh lebih nahas. Masih bagus kepala batu dari kepala sang pembalut perban di kepanya.
Ā Ā Siapapun yang membersamainya, maka kesialan tak kunjung pudar, biarpun kiamat telah di depan mata. Sial memang, menyebut karakter seperti itu saja sudah nahas.Ā Ā