Menjadi viral, itulah cerita tentang pendaki yang diberitakan pada banyak media cetak (dan mungkin elektronik dan medsos) dua hari ini.
Sebab ceritanya mirip dengan Mbok Yem, turun dari Gunung Lawu (tinggi 3.265 mdpl/meter di atas permukaan laut) dengan ditandu, melalui jalur Cetho, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar - Jawa Tengah (Jateng), karena jatuh keseleo pada Rabu (29/1/2025). Jelas Reza tidak mampu lagi berjalan turun sendiri.
Reza, begitu nama pendaki malang itu. Ia berasal dari Jakarta. Entah berapa usianya, jurnalis lupa bertanya atau setidaknya sempat memperkirakan berapa. Seorang pendaki yang berhasil naik, tetapi gagal turun karena terpeleset saat turun di Pos 3.
Padahal berat tubuhnya, dan ini menarik untuk dijadikan judul sejumlah media, lebih dari 100 kilogram (menurut perkiraan para pengusung tandu).
Sedangkan Mbok Yem karena usianya, lebih dari 80 tahun. Beliau sudah belasan atau puluhan tahun menjadi penghuni tetap puncak Gunung Lawu. Pekerjaannya memang di atas sana, menjadi penjaga sekaligus pemilik warung makan.
Untuk urusan berlebaran di kampungnya, ia turun. Kampung halaman Mbok Yem, pemilik warung di puncak Gunung Lawu, adalah Dusun Galih, Desa Gonggang, Kecamatan Poncol - Magetan
Pelanggannya tentu saja para pendaki yang kehausan dan kelaparan, dan merasa tak perlu membawa bahan makanan sendiri karena ada warung Mbok Yen.
Tentu saja, Mbok Yem naik dan turun menggunakan tandu. Cukup dua orang penandu saja sekali kali bergerak. Mungkin bobot Mbok Yem sekitar 60 kilogram. Beda dengan Reza yang harus ditandu oleh empat orang sekali jalan. Jadi, total 20 orang relawan bergantian menandu Reza untuk menuruni jalanan sempit, terjal, dan licin itu.
Untuk Mbok Yem naik-turun Lawu pasti sudah diperhitungkan dengan harga makanan-minuman yang disajikannya di atas sama. Ia membayar para penandu.
Sedangkan Reza harus minta bantuan para relawan. Entah berapa rupiah kalau harus membayar sendiri. Teman-temannya satu rombongan ketika naik Lawu pun bakal kewalahan mengatasi hal itu.
Maklumlah, cuaca akhir-akhir ini kurang bersahabat, musim penghujan. Meski hanya gerimis cukuplah membuat jalannya tak memadai untuk para pendaki. Terlebih untuk pendaki 'kelas berat' seperti Reza.
Dari ringkasan berita media tersebut muncul beberapa hal menarik untuk kita simak. Pertama, perlu cermat mengukur diri. Kondisi fisik, pengalaman mendaki, dan persiapan serta antisipasi bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kedua, cermat mengukur kondisi dan situasi. Hanya pendaki andal yang tidak takut dengan cuaca. Beigtu ada niat dan cukup persiapan mereka akan berangkat.
Naik gunung menjadi semacam uji nyali dan uji ketangguhan diri. Pasti fisik mereka pun memadai untuk itu. Dan pasti tidak ada yang berbobot 100 kilogram lebih.
Ketiga, kecuali memang sengaja (atau tidak sengaja) akan membuat berita menjadi 'viral'. Mengetahui kisah itu, tentu banyak orang yang sangat menyayangkan kenekatan Reza, mungkin ada pula yang sekadar geli dan merasa lucu.
Selebihnya bagi jurnalis dan 'content creator' ada bahan untuk ditulis, dan diopinikan. Termasuk tulisan ini. Mudah-mudahan sepulang Reza ke Jakarta baik-baik saja, cepat sehat kembali.
Tapi kalau mau naik gunung lagi, ia harus berpikir berulang kali. Bagus 'hiking' saja keliling kampung dan desa dulu, yang kondisi jalannya tidak terlalu ektrem. Sehingga tidak harus diviralkan media lagi. (SH/30-1-24)
Gambar: jabar.tribunnews.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI