"Tunggu. . . ., ohh, apa ini? Tunggu. . . . Â !"
Dari dapur isteri Mang Baban membawa serenteng  rantang, yang berisi nasih, sayur, lauk, dan sambal ala kadarnya.
"Aku juga punya rezeki untukmu, Bang Wildan. Terimalah. Lumayan untuk berbuka nanti. . . . . !" ujar Mang Baban Sobandi.
Lelaki bermarga asal Sumut itu tercengang. Dan seketika matanya berkaca-kaca. zLembut betul hatinya. Konon dulu ia seorang berandalan dengan segenap perilaku buruknya. Tapi kemudian berubah haluan, dan melalui bergulatan tak ringan, menjadi seperti sekarang ini. Â
"Terima kasih, ini rezeki Allah lewat tanganmu. Semoga kita akan seterusnya menjadi tetangga yang saling peduli. Mungkin, seperti kata agama, melebihi kasih-sayang saudara kandung. . . . !" gumam Bang Wildan seraya menerima rentengan rantang itu untuk pulang.
*
Mak Jumilah tersenyum membaca tiap kata pada tulisan suaminya, Bang Brengos. Secangkir kopi hiam panas sudah disiapkannya. Kebetulan Bang Brengos meninggalkan laptop-nya, itu kesempatan Mak Jumilah membaca tulisan suaminya.m
"Ini cerita nyata, atau fiksi, Bang?"
"Bisa jadi ceria nyata. Tapi supaya tidak menyinggung perasaan pembaca, ya sebaiknya diperfiksi saja. Supaya tidak terkesan menggurui," jawab Bang Brengos ketika kembali dengan membawa selembar koran.
"Terus cerita apa yang dipendam Mang Baban, yang diucapkannya dalam hati?"
Bang Brengos tersenyum.