Mang Baban tersenyum, dan tak hendak berterus terang. Mungkin lain kali kuceritakan apa yang ada dalam pikiranku saat ini, ucapnya dalam hati.
"Aku berpuasa Ahad saja. Ikut Pemerintah. Mudah-mudahan bulan depan hari raya-nya bersamaan. Hingga tak perlu ada dua kali salat Idul Fitri, dengan berbagai pro-kontra yang menyertainya. . . Â !"
"Aamiin. Mudah-mudahan. Perbedaan menjadi berkah. Toh, tiap keputusan sudah didasari dalil, juga keyakinan penuh si pembuat keputusan. Akar rumput tidak perlu gaduh karenanya. . . . Â !"
"Setuju, Mang. Terima kasih atas pencerahannya. . . . . !"
Sore ini, jelang berbuka puasa, Mang Baban Sobandi ingin sekali mengirim makanan ke rumah tetangganya itu, Bang Wildan Si. Nasi, dan sayur, juga goreng tempe-tahu-ikan asin dan sambal. Pasti terkejut Bang Wildan, dan sangat bersyukur masih ada tetangga yang peduli pada kesulitan orang lain.
*
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sepulang dari masjid setelah berjemaah Ashar, Bang Wildan justru yang nongol lebih dahulu di depan pintu rumah Mang Baban.
"Aku ada sedikit rezeki. Aku yakin ini salah satunya dari doamu, Mang.. . . . !"
"Doaku? Benarkah?"
"Doa orang saleh gampang terkabul. Terlebih untuk mendoakan orang lain. Baru saja datang seorang teman lama yang pernah meminjam sejumlah uang padaku. Ia minta-minta maaf karena lama menghilang, dan baru kali mampu mengembalikan pinjamannya, dan. . . . . . . !"
Bang Wildan menyelipkan dua lembaran uang warna merah ke saku kemeja Mang Baban. Begitu saja dan segera balik kanan.