Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Markadut dan Seorang Mak Comblang

4 Februari 2022   16:41 Diperbarui: 4 Februari 2022   16:42 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puluhan tahun lalu Markadut menjadi jaminan mutu. Orangnya ramah dan gagah, kulit bersih, hidung bangir. Bicaranya lembut tapi tegas. Selalu tersenyum tak kenal waktu. Terlebih saat mendapati kekayaan dan kemuliaannya terus meninggi. "Abang ganteng ahh. . . !" puji ibu-ibu. "Mau kau jadi pacarku nggak, Bang?" goda para gadis belia hingga usia matang, berebutan merayu, silih berganti. Markadut bergeming.

Pujian dan sanjung bertambah-tambah sebab ia dikenal dermawan, jujur, dan menjadi tempat mengadu dan minta pertolongan. Tidak ada sesuatu pun yang cacat dalam hidup dan kesehariannya di mata orang lain.

Tetapi memang, tidak ada orang yang betul-betul sempurna. Pun Markadut. Ia dinilai terlalu keras hati untuk  menumpuk-numpuk harta. Tak malas ia melakukan apa saja demi uang. Usaha apa saja demi kekayaan. Aneka proyek dibuatnya, juga lapangan kerja. Laba menggunung. Kedermawanan tak surut karena itu, bahkan kian menjadi-jadi.

Itu kenapa orang memujinya sebagai sosok jaminan mutu. Sayangnya, sampai usia empat puluh ia lebih pilih membujang. Jangankan dekat wanita, melirik pun tidak. Waktu, pikiran, dan tenaganya fokus untuk uang.  Beberapa orangtua dengan anak perawan cantik-molek gagal membujuk. Mereka menggunakan cara biasa, jebakan, setengah pakasa, hingga main dukun. Semua kandas.

"Tidak baik pria kaya membujang, Bang. Orang kira nanti kamu ada kelainan.. . . " ucap Bu Salma sat menyodorkan seorang puterinya, dengan nada suara merengek.

"Kekayaan sepeninggalmu kelak untuk siapa? Mestinya 'kan untuk anak-cucu, untuk sanak-saudara, dan untuk isteri. Maka, nikahilah anak perawanku.. . . !" giliran Om Danus mengiba saat memperkenalkan anak sulungnya, yang tampil mirip bintang sinetron.

"Kudidik puteriku dengan sangat baik. Ia kusiapkan menjadi isteri solehah dan taat suami. Kamu tak akan kecewa. . . .!" bisik Pak Sakuri pada kesempatan lain.

Ketiganya kebetulan saling bertemu.  Tiap orangtua memuji habis-habisan anak masing-masing, dan menjelekkan gadis orang lain. Hingga akhirnya saling bicara keras, terjadi pertengkaran.  Markadut menggeleng keras-keras. Menolak.

*

Di tengah perasaan jengkel, marah, dan kalut; ada saja yang membuat Markadut tersenyum. Ada lelaki yang berdandang perempuan, ada pula nenek-nenek yang memoles diri sedemikian sehingga mirip boneka, bahkan ada orangutua yang menyodorkan sekaligus ke enam anak pempuannya yang cantik-cantik untuk memilih salah satu ataau sekaligus semuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun