Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Edy Mulyadi Si Ciut Nyali, Minta Maaf Sambil Ngeles

24 Januari 2022   16:36 Diperbarui: 29 Januari 2022   11:45 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Edy Mulyadi sedang bercanda. Ya, katakanlah begitu. Bercanda. Terbukti dengan pilihan ucapannya. Kata-kata yang hanya pantas diucapkan kawan sepermainan, kolega dekat, atau kawan akrab. Tapi baginya dijadikan argumen serius.  Nada bicaranya serius, penuh semangat, dan berlagak paling tahu duduk persoalan dari tema yang disampaikannya.

Meski kemudian terkuak belangnya, ia ciut nyali.   

IKN di Kalimantan disebutnya sebagai tempat jin buang anak. Itu candaan, meski sudah populer di Jakarta dan sekitarnya, tak berarti berlaku untuk daerah lain.  Tidak berlaku untuk orang lain.

Lokasi itu sangat jauh, kilah Edy Mulyadi. Mungkin ia lupa, negeri ini terdiri atas ribuan pulau, berjarak ribuan kilometer dari ujung ke ujung. Negeri ini bukan hanya Jawa, bahkan bukan hanya Jakarta. Picik betul pemikirannya.

Ia berkilah, dulu Monas dan BSD juga disebut tempat jin buang anak. Rupanya ia meniru ungkapan orang-orang dulu. Sebelum sarana-prasarana transportasi maju, sebelum perangkat telekomunikasi menjadi secanggih saat ini.

Maka logikanya salah, setidaknya tidak tepat. Dan asal-asalan.  Mereka yang gemar betul menggunakan ungkapan "tempat jin buang anak" tentu kecele, tak menyangka, kaget, dan pasti bingung tak membayangkan melihat dua tempat itu sekarang.

Hanya orang-orang cerdas yang berpikir panjang ke depan, serta punya logika futuristik. Jauh melampaui zamannya. Dan Edy Mulyadi, meski pernah coba-coba jadi Caleg DPR RI, pemikirannya belum sampai ke sana.

Mungkin tempat bermainnya kurang jauh. Berpikirnya hanya yang enteng-enteng dan gampangan saja. Pastilah referensi dan pergaulannya sangat terbatas, hingga bolehlah disebut hidupnya bagaikan katak di dalam tempurung.   

*

Ciut nyali, itu ungkapan pas untuk sosok Edy Mulyadi. Setelah beropini penuh percaya diri, tentang salah satu masalah penting negeri ini, tiba-tiba ciut. Minta maaf. Sambil tak lupa tetap berdalih, alias ngeles. Hingga orang makin tahu seberapa cerdas orang yang digambarkan mantan wartawan senior sebuah media itu.

Sama sekali tidak sesuai dengan lagak dan gayanya ketika berorasi yang viral di medsos. Jauh sekali dari bayangan orang. Terlanjur para pengikut serta orang-orang berpikiran serupa dirinya mengelu-elukan, padahal ia tak lebih dari ayam sayur. Ciut nyali.

Apakah itu gara-gara cuitannya ada yang melaporkan ke pihak berwajib? Mungkin begitu logikanya. Mungkin ia dan kelompoknya berpikir, kalau bisa negeri ini nggak usahlah pakai hukum. Orang bebas berkata dan bertindak semaunya. Bebas menggunakan kata dan bahasa seenak perutnya sendiri.

Tetapi bisa jadi sebenarnya ia hanya pansos. Ia seorang Youtuber. Ingin punya banyak subscribe dalam waktu singkat. Ini gaya mutakhir orang-orang yang ingin cepat popular padahal tidak punya cukup kemampuan untuk menjadi “yang paling” agar dilirik khalayak media online maupun netizen media sosial. Maka dicarilah jalan pintas: menghina, menyebar fitnah, mengadu-domba, menuding orang lain, dan seterusnya.

Strategi tersebut mudah untuk dilakukan. Bikin heboh lalu bilang khilaf, dan minta maaf. Ibarat kemarau setahun dihapus dengan hujan sehari.  Dengan hanya minta maaf. Tak perlu ikhlas dan dari hati terdalam, cukuplah di mulut saja. Dan jangan lupa diimbuhi dengan ngeles, berkilah, berdalih, dan tetap merasa diri tidak bersalah. Itu strategi mereka yang menghalalkan segala cara.

Boleh jadi Edy Mulyadi masih berharap kelak ikut "nyaleg" lagi. Niscaya kembali pada PKS tempatnya senada dan seirama dalam berpolitik. Memang, pengurus PKS menyatakan ia bukan bagian dari parpol itu, bukan pengurus. Tetapi rupanya hati Edy Mulyadi sudah kepincut ke sana. Tak akan pergi ke lain hati. Jadi begitulah, apapun kebijakan Pemerintah akan selalu buruk di matanya.

*

Sebagai mantan wartawan, dan konon senior pula, mestinya Edy Mulyadi mencari banyak referensi. Ibu kota negara mana saja di dunia yang pindah dari lokasi semula. Pertimbangan dan untung-ruginya apa.

Lalu fokuslah pada yang buruk-buruknya. Pindah ibukota-ibukota negara yang akhirnya rugi, salah urus, mangkrak, biang penyimpangan anggaran, dan seterusnya. Kemudian, sebutlah IKN punya potensi ke sana.

Dengan kata lain, kebijakan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur itu salah. Lokasi salah, terlalu jauh. Momentumnya tidak tepat. Sebab ada korona. Anggarannya sangat besar. Para pegawainya belum siap pindah ke sana. Dan seterusnya. Carilah seribu-satu alasan.

Carilah alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan di Kalimantan Timur itu tanpa mengurangi segenap tujuan baik demi keindonesiaan yang bukan "Jawa Centris".

Jangan cuma mengajukan dalih bernada olok-olok, lokasinya "tempat jin buang anak. Orang-orang tidak akan mau membangun di Kalimantan karena pasar di Kalimantan hanya Genderuwo dan Kuntilanak."

Tetapi siapa tahu ia memang punya kemampuan supranatural. Punya pengalaman dan pengetahuan mendalam soal dunia jin, genderuwo, dan kuntilanak. Jangankan dengan manusia, dengan mahluk halus pun mungkin ia sudah biasa akrab bergaul.

Kemungkinan lain, jangan-jangan Edy Mulyadi termasuk sosok yang diistilah agama sebagai setan berwujud manusia?

*

Lepas dari soal tidak setuju ibukota negara dipindah, penulis kecewa betul pada sikap Edy Mulyadi. Belum sampai diasahkan mandau dan clurit, belum sampai ditantang adu kesaktian khas Suku Dayak dan suku Madura, ia sudah menyerah. Minta maaf itu pertanda kalah, salah, lemah, dan tak berdaya.

Padahal mestinya tetap saja tegar, teguh hati, menghadapi segala kemungkinan dengan kepala tegak, sampai semuanya terbukti benar-salahnya di pengadilan.  Bukan malah lunglai dan pucat-pasi. Kalau memang segitu saja nyalinya lain kali berpikirlah seribu kali. Cari kata-kata yang  tepat-sejuk-membujuk. Tampilkan sikap yang sopan bukan arogan, bernas bukan beringas, serius bukan bercanda, bijak bukan sekadar jual lagak, dari dilandasi hati-nurani penuh simpati dan empati, bukan justru dilandasi syahwat politik. 

Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. Itu sebabnya, pikir dahulu pendapat, sesal kemudian tak berguna. Sekarang apa mau dikata?

Sambil menunggu proses hukum nanti, si Ciut Nyali mesti waspada. Kurang beruntung, bui sudah menanti. Barangkali di sana kelak ia dapat bertemu dengan para pengkhotbah yang punya banyak kosa-kata penuh kebencian, fitnah, adu-domba, kebohongan, kesombongan, dan aneka dalil berkedok agama. Bertemu pula dengan sampah masyarakat lainnya. Wallahu a’lam. ***

Sekemirung, 24 Januari 2022 / 21 Jumadil Akhir 1443
Sugiyanto Hadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun