Sama sekali tidak sesuai dengan lagak dan gayanya ketika berorasi yang viral di medsos. Jauh sekali dari bayangan orang. Terlanjur para pengikut serta orang-orang berpikiran serupa dirinya mengelu-elukan, padahal ia tak lebih dari ayam sayur. Ciut nyali.
Apakah itu gara-gara cuitannya ada yang melaporkan ke pihak berwajib? Mungkin begitu logikanya. Mungkin ia dan kelompoknya berpikir, kalau bisa negeri ini nggak usahlah pakai hukum. Orang bebas berkata dan bertindak semaunya. Bebas menggunakan kata dan bahasa seenak perutnya sendiri.
Tetapi bisa jadi sebenarnya ia hanya pansos. Ia seorang Youtuber. Ingin punya banyak subscribe dalam waktu singkat. Ini gaya mutakhir orang-orang yang ingin cepat popular padahal tidak punya cukup kemampuan untuk menjadi “yang paling” agar dilirik khalayak media online maupun netizen media sosial. Maka dicarilah jalan pintas: menghina, menyebar fitnah, mengadu-domba, menuding orang lain, dan seterusnya.
Strategi tersebut mudah untuk dilakukan. Bikin heboh lalu bilang khilaf, dan minta maaf. Ibarat kemarau setahun dihapus dengan hujan sehari. Dengan hanya minta maaf. Tak perlu ikhlas dan dari hati terdalam, cukuplah di mulut saja. Dan jangan lupa diimbuhi dengan ngeles, berkilah, berdalih, dan tetap merasa diri tidak bersalah. Itu strategi mereka yang menghalalkan segala cara.
Boleh jadi Edy Mulyadi masih berharap kelak ikut "nyaleg" lagi. Niscaya kembali pada PKS tempatnya senada dan seirama dalam berpolitik. Memang, pengurus PKS menyatakan ia bukan bagian dari parpol itu, bukan pengurus. Tetapi rupanya hati Edy Mulyadi sudah kepincut ke sana. Tak akan pergi ke lain hati. Jadi begitulah, apapun kebijakan Pemerintah akan selalu buruk di matanya.
*
Sebagai mantan wartawan, dan konon senior pula, mestinya Edy Mulyadi mencari banyak referensi. Ibu kota negara mana saja di dunia yang pindah dari lokasi semula. Pertimbangan dan untung-ruginya apa.
Lalu fokuslah pada yang buruk-buruknya. Pindah ibukota-ibukota negara yang akhirnya rugi, salah urus, mangkrak, biang penyimpangan anggaran, dan seterusnya. Kemudian, sebutlah IKN punya potensi ke sana.
Dengan kata lain, kebijakan memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur itu salah. Lokasi salah, terlalu jauh. Momentumnya tidak tepat. Sebab ada korona. Anggarannya sangat besar. Para pegawainya belum siap pindah ke sana. Dan seterusnya. Carilah seribu-satu alasan.
Carilah alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan di Kalimantan Timur itu tanpa mengurangi segenap tujuan baik demi keindonesiaan yang bukan "Jawa Centris".
Jangan cuma mengajukan dalih bernada olok-olok, lokasinya "tempat jin buang anak. Orang-orang tidak akan mau membangun di Kalimantan karena pasar di Kalimantan hanya Genderuwo dan Kuntilanak."