Beruntung kita tinggal di Indonesia, negeri yang kaya-raya akan keberagaman. Bahasa dan keunikan daerah terkait dengan adat-budaya misalnya, sangat menarik untuk diungkap. Divideokan, diaudio-visualkan. Menjadi konten media audio-visual, media online maupun media sosial. Selain media televisi. Dijadikan materi edukasi maupun hiburan.
Rasa beruntung itu muncul dalam diri saya setelah melihat sebuah konten Youtube berupa komedi situasi anak-anak. Saya mendapatkannya dari salah satu grup WA. Sitcom itu berbahasa Indonesia tidak baku. Dengan logat-dialek serta rasa bahasa masyarakat Sulawesi Tengah. Hiburan cerdas itu dibuat Santukaka Youtube Channel.
*
Salah satu materi yang saya tonton berjudul, "Pesan kepada ibu-ibu dan para calon ibu". Titik- tolak pembicaraan mengenai kue "angus", gosong/hangus. Garis besar cerita, sindiran anak-anak kepada para ibu yang suka memberi kue angus kepada anak-anaknya.
Cerita dimulai dari pengakuan bocah Rivan yang merasa sakit hati. Hari itu ia diberi kue gosong oleh ibunya. Mengutip kata Bu Guru, anak-anak perlu makanan bergizi agar tumbuh sehat dan cerdas. Pemberian kue hangus tentu tidak mendukung program tersebut. Dalih Rivan.
Seorang teman sepantaran, Kristin, setuju pendapat itu. Rivan menambahkan. Kue yang bagus untuk tamu. Kristin punya ide sebagai jalan keluar, yaitu bertamu ke rumah tetangga pada jam-jam makan. Rivan tidak setuju. Ia kembali pada keluhan semula. "Itulah kebiasaan buruk ibu-ibu. Tidak pernah ada ceritanya bapak-bapak memberi kue angus. . .!"
Kristin mulai kesal, ia merasa Rivan mulai "bapancing-pancing" kemarahannya. . . . Terkait dengan dialog soal kebiasaan ibu-ibu, Rivan bertanya: "Kalau besar nanti, kamu mau jadi ibu-ibu atau bapak-bapak, Kristin?" Kristin menjawab, dengan nada sangat percaya diri, "Jadi ibu-lah. . .!"
Jawaban itu membuat Rivan beranjak dari duduknya, sambil berujar sinis; "Nah, pasti kau kelak juga akan memberi "kue angus" kepada anak-anakmu." Seketika Rivan berlari, dan Kristin mengejarnya. Sumber 1/
Komedi berdurasi 4 menit 29 detik itu coba mengotak-atik logika pembicaraan demi efek lucu. Sebagian besar berhasil. Kelucuan lain, bukan hanya dari materi dialog, melainkan juga dari logat, warna suara, dan ekspresi wajah mereka. Dua anak saja pemeran dalam episode ini. Â
Dibandingkan episode lain (yang hampir selalu menampilkan 6 anak pemeran sekaligus), pengambilan gambar serta penggarapan editing audio-video cerita ini relatif lebih mudah.
Simak juga tulisan menarik sebelumnya: Renungan Kecil, Musibah di Perlintasan KA Sidoarjo
*
Santukaka (bahasa daerah Poso  Sulawesi Tengah, artinya kakak-beradik) mungkin terinspirasi dengan keberhasilan komedi situasi anak-anak yang lebih dahulu popular, yaitu acara Bocah Ngapa(k) Ya. Content creator-nya Yan Rendra Pratiwi, atau Rendra Polapike.
Sitcom berbahasa ngapak itu semula berupa konten berjudul Polapike (baca Pol-apik-e, Bahasa Jawa, artinya baik/bagusnya maksimal) yang muncul di Youtube sejak akhir 2018. Sumber 2/
Adapun komedi-komedi Santukaka Youtube Channel dibuat pada pertengahan 2017. Semula konten ini juga berbahasa daerah, yaitu bahasa daerah Poso. Guna meraup lebih banyak jumlah penonton dan subscribe/like pada akhir September 2021 bahasa yang digunakan diubah menjadi Bahasa Indonesia. Sumber 3/
Para pemeran merupakan siswa SD, klas 3 (5 orang) dan klas 5 (1 orang). Mereka warga Sameko, Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Simak juga tulisan menarik sebelumnya: Orangtua Durhaka, Menjadi Pembunuh Anak Sendiri
Tangan dingin Ordi Tampale memungkinkan cerita-demi cerita tersaji makin lancar dan menarik. Ordi merupakan penggagas dan "content creative" Santukaka. Pemikian awalnya dari keprihatinan pada kebiasaan anak-anak bermain game dan menonton konten acara kurang baik. Hal itu menyulut semangatnya membuat tontonan yang mendidik. Tujuan lebih jauh, coba mengasah bakat-bakat anak di kampung-halamannya dalam bahasa dan seni peran.
Nah, bagi Anda yang ingin tahu lebih jauh hasil karya Ordi Tampale, silakan kunjungi Santukaka Channel.
*
Selain media televisi, media online dan media sosial sangat terbuka terhadap ide-ide kreatif bernuansa kebahasaan daerah. Selain Rendra Polapike (Kebumen Jateng) dan Ordi Tampale (Poso Sulteng) kiranya masih banyak karya-karya "content creator" dari provinsi-provinsi lain yang perlu ditampilkan menasional.
Simak juga tulisan menarik sebelumnya: Anggiat Pasaribu, Dari Caci-Maki Berujung Buka-Bukaan, Malu, dan Minta Maaf
Mudah-mudahan tayangan hiburan, termasuk komedi situasi anak-anak, makin berkualitas dan cerdas. Isi tayangan layar televisi maupun konten-konten di media sosial pun kian bernas. Dengan itu kesadaran pentingnya kita sebagai warga bangsa untuk ikut berperan dalam merawat keberagaman makin mumpuni.
Nah, beruntung kita tinggal di Indonesia, negeri yang kaya-raya akan keberagaman. Mari terus bersyukur karenanya. Wallahu a'lam. ***
 Cibaduyut, 10 Desember 2021 / 5 Jumadil Awal 1443
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H