Demi menggendong bayi, ikhtiar 25 tahun pun dijalani. Itulah yang dialami seorang teman, yang kemudian diceritakannya dalam reuni virtual memakai Zoom Cloud Meetings. Cerita teman lain tak kalah menarik, mengenai sedihnya kaki diamputasi, dan upaya mendamaikan dua isteri.
Ahad siang lalu, 31 Oktober 2021, kami kembali mengadakan temu virtual. Biasanya melalui grup WA saja. Dengan Zoom dapat bertemu bertatap-muka bersamaan. Tema dipilih terkait dengan Oktober sebagai bulan Sumpah Pemuda, yaitu Soempah Keloewarga..
Zoom difasilitasi salah satu anggota grup WA (Wasibarat Tld'73), yaitu Setyo Triyono (konsultan teknik, 65, Jakarta). Zoom diawali dengan kata pambagyo (pembukaan, ucapan selamat) oleh Ketua Wasibarat Mustoto Moehadi (geolog, dosen, 65, Tangsel).
Berikut kutipan singkat paparan 3 orang pemateri pada forum tersebut.
Ika Nurbiati (64, Jaktim) menjadi pemateri pertama. ibu yang sangat berbahagia karena punya anak. Kisahnya memang happy ending, setelah melalui alur penuh drama dan kesulitan.Â
Ika Nurbiati menikah pada 1983 saat berumur 26 tahun. Keharmonisan keluarga terbangun baik. Hari-hari berlalu, dan ada hal yang kurang. Si buah hati tak kunjung datang. Resah dan khawatir menghantui. Tidak mau tinggal diam, usaha keras dilakukannya. Â
Mulailah ia konsultasi dan berobat ke dokter pada sebuah rumah sakit di kawasan Cikini. Ternyata langkahnya itu "salah alamat". Ia tersadar ketika perawat bertanya: "Sudah berapa bulan, Bu? Ibu yakin akan. . . . . . ?" Ika bingung, tidak tahu arah pertanyaan. Setelah berpikir sejenak ia menemukan jawab: "Saya datang untuk konsultasi dan berobat, agar punya anak. Bukan untuk aborsi . . . . . !"
Usaha lain, Ika pernah ke dokter-kandungan terkenal. Bergelar profesor. Cukup lama, 3 tahun. Tapi hasilnya nihil. Aneka pengobatan yang tak masuk akal pun pernah ia lakukan. Diantaranya, tidur dengan alas daun salam; Â minum jamu rebusan, pagi sore, selama 1 tahun; dan minum air dari piring yang permukaannya ditulisi Al Fatihah pakai tinta. Gagal juga.
Pilihan untuk ikut program penyatuan sperma dan sel telur di luar Rahim sulit dielakkan. Program itu dikenal sebagai in vitro fertilization-IVF, atau bayi tabung.
Program di dalam negeri gagal. Ika Nurbiati beralih ke luar negeri. Setelah gagal di Australia, ia coba-coba ke Malaysia.
Pada program bayi tabung di Kuala Lumpur sebenarnya ia sudah apatis. Cenderung pesimistis. Rupanya pihak rumah sakit melakukan tindakan berbeda. Sebelum embrio ditempelkan, dinding rahim dibersihkan dulu. Ini yang membedakan dengan program-program sebelumnya. Â Â
Alhamdulillah, kali ini berhasil. Saat itu Ika Nurbiati sudah 50 tahun. Artinya, 25 tahun ikhtiar untuk dapat menggendong bayi sudah ia jalani. Akhirnya, doa dan jerih-payah Ika, bersama suami dan keluarga besarnya, diijabah Allah. Sudah 5 kali program bayi tabung ia ikuti.
Pada 2008 ia melahirkan bayi kembar perempuan. Namanya Ashvani dan Ashvini. Kondisi bayi lahir prematur dari bedah Caesar. Bobot masing-masing 1,6 kilogram. Selama 45 hari diinkubator. Dengan segenap keadaan itu tidak mengurangi rasa bahagia Ika.
Kini sering ia tersenyum sendiri mengenang peristiwa masa lalu. Ketika hamil besar ia pernah dimarahi dokter. Sebab umur tak lagi muda, kondisi bayi dalam kandungan, dan resiko saat melahirkan. Cerita lain, saat bayi sudah lahir dan ia memeriksakan mereka ke sebuah rumah sakit, dokter ngomel. "Ini ibunya kemana? Anak gawat begini kok neneknya yang disuruh-suruh. . . .!"Â
Ika Nurbiati hanya bisa bersabar dan tidak meladeni. Tapi ketika ada kesempatan pelan-pelan ia jelaskan persoalannya. Tak urung dokter malu hati telah berburuk sangka.
Dari pengalaman Ika, istri yang sulit punya anak sangat perlu dukungan keluarga. Ibu mertua baginya sangat baik dan pengertian. Ia bersyukur, ibu dari 5 anak dan semuanya lelaki itu tidak menyuruh suami Ika menikah lagi.
Kini, si kembar Vina dan Vini sudah SMP. Keduanya tumbuh sehat, cerdas, dan enerjik. Ika Nurbiati dan Sumardiono, suaminya, tak habis-habis bersyukur atas karunia Allah SWT melalui kedua bocah itu.
Enny Susetyo Utami (64, Semarang) sangat sedih pada awalnya. Tapi keikhlasan dan kesabaran lambat-laun mengubahnya menjadi lebih tegar. Itu yang kini dirasakan ibu 4 orang anak, dan nenek 5 cucu itu. Enny menjadi penyaji materi kedua.
Kisahnya tentang luka kecil di kaki, penyebab salah satu diamputasi. Apa yang dialaminya pun memprihatinkan.
Bermula kondisi kaki kiri ada luka kecil di sela jari kaki. Â Orang Jawa menyebutnya "rangen". Kejadiannya berawal pada tahun 2015.
Ketika berobat, dokter membersihkan kaki yang luka dan mengobatinya. Tetapi ada yang salah, penanganan membuat jari kaki berubah menghitam. Enny kembali ke dokter yang sama. Komentar dokter justru bernada menyalahkan. Ternyata ada penyumbatan pembuluh darah pada kaki kiri dan kanan. Kaki kiri penyumbatannya lebih parah. Luka tidak kunjung sembuh, bahkan sakitnya dirasa tambah nyeri.
Saat itu 2017, Enny Susetyo Utami sedang sibuk berencana menikahkan anak ragil. Hatinya sedih dan terpukul karena sakit di kakinya. Dengan kondisi kaki sedemikian ia keluarga merayakan pernikahan anak ragil. Sedih dan gembira bercampur jadi satu.
Tidak puas dengan urusan medis, Enny mencari pengobatan alternatif. Tapi kakinya tidak kunjung membaik. Â Bahkan dokter rumah sakit memvonis, salah satu kaki harus diamputasi. Dari pangkal paha. Namun, atas pertimbangan dokter, kaki kiri amputasi di bawah lutut atau betis. Dan Alhamdulillah berhasil. Tidak perlu amputasi pada pangkal paha.
Kesediaannya diamputasi pada 2018 memang tidak mudah. Ada anggota keluarga tidak setuju, kondisi kesehatannya sebagai pertimbangan. Resiko besar. Tapi demi keluarga, Enny bersiteguh. Pertimbangan lain, tanpa amputasi dikhawatirkan kondisinya lebih buruk.
Dengan kaki sebelah dunia terasa berubah. Rasa minder dan rendah diri selalu membayangi. Ia berusaha tegar dan tabah. Saran menggunakan kaki palsu dan kruk sudah dicoba. Sayang, fisiknya sudah tidak memadai. Jadi kegiatan apapaun perlu bantuan orang lain. Mau pergi ke mana-mana harus setia dengan kursi roda.
Beruntung ia mendapat dukungan keluarga-besarnya. Semangat hidup yang sempat drop lambat-laun bangkit. Mereka berganti terus memompa semangat hidup Enny.
Kini, untuk mengisi kegiatan produktif Enny tekun membuat aneka aksesoris. Berbahan bebatuan. Ia juga berjualan pakaian secara daring. Ponsel menjadi sarana penting. Dengan ponsel pula ia berbagi kisah hidupnya. Termasuk melalui Zoom dengan sesama alumni SMA.
Penyaji berikutnya Mas Ismanto Purwo Saputro (65, Bantul). Ia pensiunan guru SMP. Para tetangga memanggilnya Mas Guru. Ia juga seorang penggiat seni karawitan.
Tema yang dibawakannya ditunggu-tunggu peserta Zoom. Khususnya peserta lelaki. Menarik ceritanya. Tentang pilihannya berpoligami.
Ismanto tidak menutup-nutupi latar-belakang kisahnya. Bukan dirinya yang memulai, melainkan istri pertama. Perempuan itu juga pensiunan guru, dinikahi 1977. Saat usia perkawinan jelang pensiun ia keasyikan pada perannya sebagai seorang nenek di tengah para cucu. Anaknya 3 orang, dari mereka lahir 5 cucu. Peran sebagai nenek mengasyikannya. Tak pelak peran sebagai istri terabaikan. Suami merasa kurang diperhatikan, sampai pun pada urusan di balik kelambu. Dialog sudah dilakukan. Tapi ketemu jalan buntu.
Lalu, entah kebetulan atau memang disengaja, Ismanto bersua kembali dengan mantan murid. Statusnya saat itu janda. Dulu mereka pernah akrab layaknya guru dan murid. Khususnya pada pelajaran ekstra kulikuler karawitan.
Hubungan tersambung. Pendeknya, si mantan murid mengidolakan betul sosok Mas Guru, dan belum luntur. Ismanto memang piawai nembang (menyanyi lagu-lagu karawitan), main gamelan, dan aneka kesenian tradissional Jawa.
Dengan seizin istri pertama Ismanto menikah lagi. Tidak di KUA. Isteri muda minta nikah siri saja, agar tetap pada status sebagai penerima pensiun dari suami pertama. Poligami pun terjadi. Tentu istri tua tidak rela, marah, dan benci.
Dengan menikahi wanita kedua, Ismanto harus berbagi perhatian dan tanggungjawab. Sambil terus mencari cara mendamaikan. Sekali waktu ke rumah Wetan (timur, Ringinharjo, istri tua), selebihnya ke rumah Kulon (barat, Pajangan, istri muda).
Pensiun, kesibukan Ismanto masih urusan karawitan. Diantaranya menjadi pengrawit pada pergelaran Sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Selebihnya membantu usaha isteri muda buka toko kelontong kecil.
Anak-anak dari isteri tua (3 orang) dan isteri muda (2 orang) bersekolah dengan baik. Ada yang melanjutkan kuliah ke UNY, ada pula yang ke UGM (Teknik Mesin dan Kedokteran Hewan). Anak sulung dari isteri pertama meneruskan profesi kedua orangtuanya sebagai guru.
Sembilan tahun berlalu. Waktu berjalan mencairkan kebekuan. Ismanto berhasil menjembatani. Anak2, cucu2, orangtua, saudara2 dan seluruh keluarga trah akhirnya kompak menyatu. Saling kunjung dan melakukan kegiatan bersama. Arisan, menghadiri undangan resepsi, dan lainnya. Tak canggung lagi.
Begitulah kisah hidup 3 orang penyaji. Jalan hidup mereka mengundang perhatian, empati dan  simpati peserta Zoom. Selanjutnya 3 orang pakar dibidangnya bersiap membahas.
Mereka adalah Tririni Budi Setyaningsih (dokter spesialis kejiwaan, 64, Purwokerto), Untung Leksono (psikolog, purnawirawan Polri, 65, Jaksel), dan Fauzan Heru Santoso (psikolog, dosen, 65, Yogyakarta). Ketiganya teman-teman sesama alumni SMAN 1 Teladan Yogyakarta, Angkatan 1973.
Moderator Widyarka Ryananta (mantan diplomat, 64, Depok) memandu tanya-jawab dengan luwes dan menarik. Tak lupa ia berharap agar acara Reuni Virtual selama 3 jam, membawa hikmah dan manfaat bagi sekitar 50 pesertanya.
Itu saja. Tiap orang punya cerita berbeda, tentu dengan segenap pelik-heboh-dramatis dan/atau unik serta suka-dukanya masing-masing. Jangan dipendam sendiri. Jika tak  keberatan, tanpa bermaksud mengumbar aib sendiri, bagilah hikmahnya.
Mudah-mudahan bermanfaat. Mohon maaf bila ada hal yang membuat kurang berkenan. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung, 5 November 2021/ 29 Rabi'ul Akhir 1443
Sugiyanto Hadi P.
Simak tulisan menarik sebelumnya:
istri dua, berbagi dalam reuni virtual
nama panjang, panjang pula urusannya
azis syamsuddin pilih melengos
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H