Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istri Dua, Berbagi dalam Reuni Virtual

1 November 2021   15:58 Diperbarui: 2 November 2021   21:27 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption - sejumlah peserta zoom pada reuni virtual grup WA - Wasibarat Tld'73 - dokpri Rachma Ghani

Setelah pensiun aktivitas rutin saya ringan-ringan saja. Hanya ibadah. Berjalan kaki 5 kali sehari ke masjid, pergi-pulang. Jarak 600 meter sekali jalan. Naik-turun tangga. Merasa sehat karena setiap hari bangun tidur lebih cepat. Salat tahajud di rumah, dan salat subuh berjemaah di masjid. Tak ketinggalan puasa sunah Senin-Kamis. Ketika dulu masih berdinas, aktivitas ibadah itu belum rutin.  

Selebihnya menengok cucu. Cuci pakaian tanpa mesin, dan jemur. Merawat beberapa pot tanaman hias. Juga reuni dengan teman-teman kantor tetangga satu kompleks perumahan. Ketemu di masjid atau di jalan. Sesekali reuni virtual.

*

Dari obrolan di atas saya memprovokasi teman-teman pensiunan untuk menikah lagi. Pertimbangkan masak-masak. Saya sudah membuktikan manfaatnya. Hidup menjadi (relatif) lebih sehat, bermakna, bahagia. Insyaa Allah, dunia - akhirat.

Terkait ajakan di atas,  ya tentu "syarat dan ketentuan berlaku". Seperti dalam setiap transaksi bisnis apapun. Apa itu? Izin. Sebelum menikah dengan istri kedua, saya perlu minta izin dan memberitahu adik-adik istri pertama dan ibunya (mertua perempuan, saat itu masih ada). Juga mengabari anak-mantu dan keluarga saya. Mereka tidak keberatan.

Tinggal minta izin kepada istri pertama. Perlukah? Bagaimana kira-kira jawabannya nanti? Mungkin begini jawaban istri pertama saya. "Menikah lagi? Serius? Bapak tidak sedang bergurau 'kan?"

Dengan jawaban itu tentu saya hanya bisa diam. Berdoa saja di dalam hati. Menunggu ia melanjutkan ucapannya. "Boleh. No problem, Pak. Silahkan saja. Tapi ada syaratnya. Pertama, calon istri bapak harus lebih cantik dari aku. Kedua, harus lebih kaya, lebih perhatian-setia-jujur-sayang kepada bapak. Satu lagi. Ketiga, langkahi dulu mayatku. . . . . . !"

Tragis, dan menyesakkan dada sebenarnya ironi semacam itu. Maka saya tidak pernah melakukannya. Sampai saat ini saya tidak pernah meminta izin kepada istri pertama. Sembunyi-sembunyi? Tidak juga. Ia sudah meninggal 9 tahun lalu. Tepatnya pada Sabtu, 22 Desember 2012. Sedangkan saya menikah lagi 2 tahun kemudian, pada Ahad, 15 Januari 2015.

Istri pertama 8 tahun bergulat dengan gagal ginjal yang diidapnya sebelum meninggal di Manado. Dimakamkan di pemakaman muslim Sea, Minahasa. Usianya saat itu 47 tahun. Ia 8 tahun lebih muda dari saya. Hitung-hitungan sederhana mestinya saya lebih dahulu meninggalkannya. Tapi begitulah takdir Allah berlaku.

Adapun suami dari istri kedua juga meninggal pada pertenghan 2012 karena sakit-dalam. Kami sama-sama dalam posisi cerai mati. 

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun