Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istri Dua, Berbagi dalam Reuni Virtual

1 November 2021   15:58 Diperbarui: 2 November 2021   21:27 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption - ilustrasi proses akad nikah - republika.co.id

Tulisan ini sepintas sebuah cerita senang-senang saja. Padahal tidak. Setidaknya menurut Didi Kempot yang membuat lirik dari theme song serial film Mandarin Reincarnated, Pendekar Ulat Sutra, 1978, menjadi lagu berjudul Bojo Loro, atau istri dua.

Berikut ini penggalan liriknya.

Kroso sepet empinge mlijo/ Sirah mumet, dik, duwe bojo loro/ Mikir sing enom mikir sing tuwo/ Ro karona podo le tresno//
Mrono mrene saben dino/ Iki mrene sesuk-e mrono/ Bojo enom mung sedelo/ Bojo tuwo ngondeli celono//

Istri, punya satu saja repot, kok punya dua. Bagaimana ceritanya itu?  Ada yang berminat. Mungkin banyak, tapi dipendam saja di dalam hati. Yang pasti, hanya mereka yang tangguh berani mengambil sikap itu. Mereka yang harus siap secara fisik-mental dan ekonomi. Juga mesti tahan malu. Saya sudah mengalaminya.

Umur 58 (sekitar 2 tahun setelah pensiun dari PNS) saya memutuskan menikah lagi. Tidak tiba-tiba. Sekitar 6 bulan setelah pendekatan dan penjajagan. Komunikasi dengan calon pasangan maupun keluarganya. Mak Comblangnya besan (mertua laki-laki anak pertama saya) dan seorang kenalannya.

Sebelum itu ada dua perempuan lain diperkenalkan teman kantor kepada saya. Satu guru (45-an), satu lagi perawan telat nikah (40-an). Saya merasa keduanya tidak cocok. Itu penilaian saya sepintas, karena hanya sekali ketemu.

*

Image caption - proses akad nikah penulis, 25 Januari 2015  di masjid azam bdg - dokpri Sugiyanto Hadi
Image caption - proses akad nikah penulis, 25 Januari 2015  di masjid azam bdg - dokpri Sugiyanto Hadi

Alasan mengapa saya menikah lagi. Normatif saja. Pertama, untuk ibadah. Kedua, untuk menjunjung tinggi kesucian hubungan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan dalam sebuah rumah-tangga yang samawa (sakinah, mawaddah, marahmah). Dua hal itu saya kutip dari nasihat pernikahan pada buku nikah saya dengan istri kedua.

Buku nikah dengan istri pertama (Ahad, 30 Maret 1986), tanpa halaman nasihat pernikahan. Yang ada halaman doa sesudah akad nikah. Isinya harapan agar kedua mempelai hidup bahagia di dunia dan di akhirat, dianugerahi keturunan yang saleh, berbakti, serta berguna.

Itu sebabnya saya nekat menikah lagi. Penyebab lain saya menikah, istri pertama mengalami kerusakan ginjal dan harus dilakukan cuci-darah/hemodialisa, dan kemudian menggunakan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis), metode cuci darah lewat perut. Namun, lebih dari itu semuanya takdir Allah SWT. Jodoh, rezeki, dan kematian itu hak sepenuhnya Sang Khalik.

*

Sebelum saya menikah, saya telah menikahkan dua anak saya. Anak pertama, laki-laki. Lalu anak kedua, perempuan. Lalu tiba-tiba, bukan anak ketiga yang menikah, melainkan saya sendiri.

Sedikit ilustrasi saat pernikahan. Pesta kecil dibuat di rumah istri kedua saya setelah akad nikah di masjid. Tetangga terdekat ia undang. Dari saya hanya kakak dan adik-adik yang datang dari beberapa kota, serta sejumlah tetangga. Rumah kami berjarak sekitar 13 kilo, sama-sama di pinggiran kota. Malu dan canggung sebenarnya diarak-arak, dengan pakaian pengantin. Meski jarak dari masjid ke rumah tidak sampai 300 meter. Demi tujuan baik, saya tepis perasaan negatif dan kurang nyaman apapun.

Tetangga menyalami dan surprise. Kami menjadi semacam percontohan. Sebab ada juga tetangga istri yang pilih selingkuh daripada menikah resmi. Ada pula tetangga menikah dalam usia senja (pasangan sesama pensiunan), tapi prosesnya heboh karena didahului penggerebekan.

Resepsi ala kadarnya. Ada makan-minum sederhana dan musik memeriahkan. Ucapan selamat disampaikan para tetangga. Klise saja: selamat berbahagia, Alhamdulillah dipertemukan jodoh, semoga samawa. Ada yang latah: semoga cepat diberi momongan (padahal istri tidak subur lagi).

Malah ada seorang teman sesama pensiunan bisik-bisik kepada orang lain bernada candaan: Orang lain sudah cari dalan-padang (jalan terang, persiapan untuk alam akhirat), kok ini masih cari dalan-bayi (kesenangan duniawi). Edan. Saru, sarkas, agak kurang-ajar, tapi. . . . ya, ada benarnya juga. Saya hanya bisa tersenyum hambar.

*

Setelah 6 tahun menikah dengan istri-kedua, saya rasakan sendiri bahwa kedua "dalan" itu saling terkait dan mestilah seiring-sejalan. Hidup sendiri sebagai duda atau janda pastilah suntuk, bosan, dan salah-salah dilanda stress serta perasaan tersisih-kesepian-tak berguna. Akibatnya bisa panjang, sisa umur yang ada tidak disertai rasa syukur dan ikhlas menjalaninya.

Banyak diberitakan ketika seorang lanjut usia meninggal dunia, tak lama kemudian pasangannya menyusul. Terlebih bila yang lebih dahulu meninggal si istri.

Secara kesehatan saya merasa lumayan. Tentu ada saja keluhannya. Seperti orang lain, diantaranya masalah tensi darah serta berbagai tanda ketuaan maupun kemunduran kondisi fisik/mental. Dua tahun setelah menikah saya masih rutin berdonor darah tiga bulan sekali. Umur 60 stop sama sekali. Sebab tensi darah tidak mau berkompromi.

Setelah pensiun aktivitas rutin saya ringan-ringan saja. Hanya ibadah. Berjalan kaki 5 kali sehari ke masjid, pergi-pulang. Jarak 600 meter sekali jalan. Naik-turun tangga. Merasa sehat karena setiap hari bangun tidur lebih cepat. Salat tahajud di rumah, dan salat subuh berjemaah di masjid. Tak ketinggalan puasa sunah Senin-Kamis. Ketika dulu masih berdinas, aktivitas ibadah itu belum rutin.  

Selebihnya menengok cucu. Cuci pakaian tanpa mesin, dan jemur. Merawat beberapa pot tanaman hias. Juga reuni dengan teman-teman kantor tetangga satu kompleks perumahan. Ketemu di masjid atau di jalan. Sesekali reuni virtual.

*

Dari obrolan di atas saya memprovokasi teman-teman pensiunan untuk menikah lagi. Pertimbangkan masak-masak. Saya sudah membuktikan manfaatnya. Hidup menjadi (relatif) lebih sehat, bermakna, bahagia. Insyaa Allah, dunia - akhirat.

Terkait ajakan di atas,  ya tentu "syarat dan ketentuan berlaku". Seperti dalam setiap transaksi bisnis apapun. Apa itu? Izin. Sebelum menikah dengan istri kedua, saya perlu minta izin dan memberitahu adik-adik istri pertama dan ibunya (mertua perempuan, saat itu masih ada). Juga mengabari anak-mantu dan keluarga saya. Mereka tidak keberatan.

Tinggal minta izin kepada istri pertama. Perlukah? Bagaimana kira-kira jawabannya nanti? Mungkin begini jawaban istri pertama saya. "Menikah lagi? Serius? Bapak tidak sedang bergurau 'kan?"

Dengan jawaban itu tentu saya hanya bisa diam. Berdoa saja di dalam hati. Menunggu ia melanjutkan ucapannya. "Boleh. No problem, Pak. Silahkan saja. Tapi ada syaratnya. Pertama, calon istri bapak harus lebih cantik dari aku. Kedua, harus lebih kaya, lebih perhatian-setia-jujur-sayang kepada bapak. Satu lagi. Ketiga, langkahi dulu mayatku. . . . . . !"

Tragis, dan menyesakkan dada sebenarnya ironi semacam itu. Maka saya tidak pernah melakukannya. Sampai saat ini saya tidak pernah meminta izin kepada istri pertama. Sembunyi-sembunyi? Tidak juga. Ia sudah meninggal 9 tahun lalu. Tepatnya pada Sabtu, 22 Desember 2012. Sedangkan saya menikah lagi 2 tahun kemudian, pada Ahad, 15 Januari 2015.

Istri pertama 8 tahun bergulat dengan gagal ginjal yang diidapnya sebelum meninggal di Manado. Dimakamkan di pemakaman muslim Sea, Minahasa. Usianya saat itu 47 tahun. Ia 8 tahun lebih muda dari saya. Hitung-hitungan sederhana mestinya saya lebih dahulu meninggalkannya. Tapi begitulah takdir Allah berlaku.

Adapun suami dari istri kedua juga meninggal pada pertenghan 2012 karena sakit-dalam. Kami sama-sama dalam posisi cerai mati. 

*

Penutup, frasa Istri Dua bagi saya, adalah cerita sedih dan bahagia. Cerita tentang sabar dan syukur. Selama ia sakit saya terus rajin ke rumah sakit dan ke banyak tempat pengobatan alternatif. Setelah menduda, saya tidak meminta-minta untuk dipertemukan lagi dengan jodoh. Tapi 3 tawaran datang. Tawaran terakhir saya pertimbangkan dengan sungguh-sungguh (selama 6 bulan). Untuk akhirnya saya terima, dan saya nekat menikah lagi.

Itulah "Soempah Keloewarga" versi saya, sesuai permintaan panitia Zoom Wasibarat Tld'73 yang diselenggarakan kemarin, Ahad siang, 31 Oktober 2021. Dikaitkan dengan peringatan Sumpah Pemuda. 

Image caption - sejumlah peserta zoom pada reuni virtual grup WA - Wasibarat Tld'73 - dokpri Rachma Ghani
Image caption - sejumlah peserta zoom pada reuni virtual grup WA - Wasibarat Tld'73 - dokpri Rachma Ghani

Saya memaknainya sebagai sumpah untuk menegakkan ibadah dan kesucian hubungan dalam keluarga. Juga untuk menggapai bahagia dunia dan akhirat bersama-sama. Insyaa Allah.

Nah, itu saja sekadar berbagi. Terima kasih telah menyimak. Semoga bermanfaat. Mohon maaf bila ada kurang dan salah-salah kata. Wallahu a'lam bish-shawab.

Sekemirung - Bandung, 1 November 2021 / 25 Rabi'ul Awal 1443
Sugiyanto Hadi P.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun