Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Istri Dua, Berbagi dalam Reuni Virtual

1 November 2021   15:58 Diperbarui: 2 November 2021   21:27 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu sebabnya saya nekat menikah lagi. Penyebab lain saya menikah, istri pertama mengalami kerusakan ginjal dan harus dilakukan cuci-darah/hemodialisa, dan kemudian menggunakan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis), metode cuci darah lewat perut. Namun, lebih dari itu semuanya takdir Allah SWT. Jodoh, rezeki, dan kematian itu hak sepenuhnya Sang Khalik.

*

Sebelum saya menikah, saya telah menikahkan dua anak saya. Anak pertama, laki-laki. Lalu anak kedua, perempuan. Lalu tiba-tiba, bukan anak ketiga yang menikah, melainkan saya sendiri.

Sedikit ilustrasi saat pernikahan. Pesta kecil dibuat di rumah istri kedua saya setelah akad nikah di masjid. Tetangga terdekat ia undang. Dari saya hanya kakak dan adik-adik yang datang dari beberapa kota, serta sejumlah tetangga. Rumah kami berjarak sekitar 13 kilo, sama-sama di pinggiran kota. Malu dan canggung sebenarnya diarak-arak, dengan pakaian pengantin. Meski jarak dari masjid ke rumah tidak sampai 300 meter. Demi tujuan baik, saya tepis perasaan negatif dan kurang nyaman apapun.

Tetangga menyalami dan surprise. Kami menjadi semacam percontohan. Sebab ada juga tetangga istri yang pilih selingkuh daripada menikah resmi. Ada pula tetangga menikah dalam usia senja (pasangan sesama pensiunan), tapi prosesnya heboh karena didahului penggerebekan.

Resepsi ala kadarnya. Ada makan-minum sederhana dan musik memeriahkan. Ucapan selamat disampaikan para tetangga. Klise saja: selamat berbahagia, Alhamdulillah dipertemukan jodoh, semoga samawa. Ada yang latah: semoga cepat diberi momongan (padahal istri tidak subur lagi).

Malah ada seorang teman sesama pensiunan bisik-bisik kepada orang lain bernada candaan: Orang lain sudah cari dalan-padang (jalan terang, persiapan untuk alam akhirat), kok ini masih cari dalan-bayi (kesenangan duniawi). Edan. Saru, sarkas, agak kurang-ajar, tapi. . . . ya, ada benarnya juga. Saya hanya bisa tersenyum hambar.

*

Setelah 6 tahun menikah dengan istri-kedua, saya rasakan sendiri bahwa kedua "dalan" itu saling terkait dan mestilah seiring-sejalan. Hidup sendiri sebagai duda atau janda pastilah suntuk, bosan, dan salah-salah dilanda stress serta perasaan tersisih-kesepian-tak berguna. Akibatnya bisa panjang, sisa umur yang ada tidak disertai rasa syukur dan ikhlas menjalaninya.

Banyak diberitakan ketika seorang lanjut usia meninggal dunia, tak lama kemudian pasangannya menyusul. Terlebih bila yang lebih dahulu meninggal si istri.

Secara kesehatan saya merasa lumayan. Tentu ada saja keluhannya. Seperti orang lain, diantaranya masalah tensi darah serta berbagai tanda ketuaan maupun kemunduran kondisi fisik/mental. Dua tahun setelah menikah saya masih rutin berdonor darah tiga bulan sekali. Umur 60 stop sama sekali. Sebab tensi darah tidak mau berkompromi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun