*
Jelang subuh di boncengan sepeda motor Mas Darsan bukan Dwiko, anak bungsunya, melainkan seekor domba gibas yang besar. Ia hendak membangunkan Pak Surakib. Tapi kecele. Ketua DKM Masjid Baitul Mukmin itu sedang salat tahajud.
"Nah, ini domba yang saya cari-cari. Baru ketemu tadi. . . . . . !" uap Mas Darsan dengan wajah sumringah. Janjinya terpenuhi. "Kalau boleh biar saya sendiri yang menyembelih besok pagi, Pak Akib ya?"
Berpikir beberapa saat, Pak Surakib akhirnya menyetujui. "Ya, boleh saja. Saya percaya Mas Darsan hafal doa sebelum menyembelih, dan tahu betul tata-cara penyembelihannya. . . . . !"
*
Tepat saat azan Subuh berkumandang seorang bandar domba terjingkat kaget. Ia berdiri dan melihat ke sekeliling. Ia merasa sekejap saja terlelap. Dua orang pembantunya juga pulas dengan dengkur yang keras. Ia menghitung berulang-ulang. Tinggal tujuh belas ekor domba. Benar saja, seekor domba gibas terbesar yang dimilikinya raib. Dan tak jauh dari sana ada seorang anak yang tertidur lelap.
"Maling. . . . , maling.. . . ." teriak Bandar domba itu ketika keluar dari bedeng tempat penjualan domba pada sisi sebuah jalan raya ke kota.
Suasana sekitar masih sepi. Hanya suara pengeras suara masjid dan mushola yang ramai. Si Bandar domba kembali ke dalam bedeng. Lalu mengamati seorang anak yang tertidur itu. Pikirannya ngelantur pada hal-hal gaib. "Apakah domba itu diganti Tuhan dengan anak kecil ini? Siapa yang hendak mengakaliku dengan cara seperti ini?" Â
*
Salat Idul Adha berjamaah sudah dilakukan. Jamaah terbatas. Sebab anjuran salat di rumah masing-masing. Tapi jelang penyembelihan hewan kurban beberapa warga berdatang. Pak Surakib menunggu kedatangan Mas Darsan. Ada sebelas domba terkumpul, termasuk domba milik Mak Lasimin.
Sementara itu di rumah Mas Darsan terjadi kegemparan. Di lantai teras rumah, Dwiko duduk termangu-mangu tak mampu bicara, matanya saja melotot, dengan tali-temali domba mengikat sekujur tubuhnya. Sedangkan Mas Darsan berada tak jauh dari situ. Terbujur kaku, tampak mengerikan. Dengan genangan darah di sekitarnya, dengan leher tersayat, hampir putus. Â ***