Sementara Mas Darsan mengisi bensin, lewat Mak Lasimin yang membonceng suaminya naik sepeda motor. Mas Darsan tersenyum sangat manis. Dalam hati berujar, sebuah kebetulan. Tidak perlu jauh-jauh pergi. Beruntung ketemu di jalan.
"Mak Las. . . . . hoi, Mak Las. . . . . !" teriak Mas Darsan. "Stop dulu, aku ada perlu nih. . ."
Suami Mak Las menginjak rem. Lalu meminggirkan sepeda motornya beberapa meter dari Mas Darsan berdiri.
"Utang? Apa perlumu kalau bukan utang? Kapan kamu mau jadi pengusaha yang bener kalau uang melulu. . . . . Â !" seru Mak Lasimin dengan bergurau seraya turun dari bondengan sepeda motor suaminya.
"Ini soal lain. Dengar ya, setengah bulan lagi dan perayaan besar umat Islam. Namanya Idul Adha, sering pula disebut Idul Kurban. Nah. . . . . . !"
"Kamu mau utang untuk beli domba?"
"Tunggu dulu. Biar aku selesai bicara, Mak. Sebagai muslim taat, kapan Mak Lasimin mau menunjukkan ketaatanmu. Jadi ikutlah berkorban. Mungkin sekali saja seumur hidup. Uangmu tak akan berkurang, bahkan akan bertambah karena berkah berkurban. "
Suami Mak Las berwajah kaku, mengerutkan kening. Tampak tidak sabar. Ia suami baru Mak Las yang selalu cemburu bila isterinya ngobrol akrab dengan lelaki lain. Maka ia membri tanda untuk buru-buru ngobrolnya. "Sebentar lagi hujan, Bu. Tujuan kita masih jauh. . . . . ," Â suaranya disabar-sabarkan.
Mak Lasimin tampak masih berpikir keras. Pengetahuan agamanya belum sampai pada urusan berkurban. Sedang salat wajib dan puasa Ramadan pun masih bolong-bolong.
"Maaf, jangan marah ya? Aku belum seperti yang kau kira. Prioritasku masih pada soal mencari nafkah untuk kaya. Kelak, entah kapan, bila sudah tercapai . . .. . .," kata Mak Lasimin seraya kembali duduk di boncengan sepeda motor.
Mas Darsan kecewa. Tidak mau mendengarkan kelanjutan kata-kata perempuan yang pernah ditaksirnya itu. Suami-isteri itu pergi begitu saja. Tanpa menanggapi bujukan Mas Darsan.