Luar biasanya lagi: erotisme hampir tidak ada (Pada di ruang keputren, maupun saat menikah dengan Sabatini), kelucuan muncul hanya dua kali (saat Pada coba berbahasa Sunda, dan persiapan hukuman gantung 2 pajurit Portugis yang disersi). Selebihnya digambarkan persiapan maupun suasana perang berat sebelah. Juga ketragisan dari konflik (antar bangsa, maupun antar agama dan budaya), digambarkan begitu indah-kuat-nyastra. Lepas dari pilihan politik Pramoedya hingga sempat dipulauburukan, cara menggambarkan sisi kehidupan tiap karakter (pada hemat saya) sangat proporsional dan logis.
*
Sebelum lanjut, saya perlu berterus-terang, saya tidak cukup mumpuni dalam menulis cerpen. Saya berhenti menulis (lumayan produktif) begitu pindah ke Manado. Setahun setelah lulus kuliah, sambil menunggu penempatan kedinasan. Maklumlah, kesibukan kerja sehari-hari juga menulis (pada staiun penyiaran daerah plat merah). Jadi kiat-kiat di atas (kalau memang bernilai kiat) biarlah menjadi catatan harian penulis sendiri. Menjadi semacam diary. Begitupun bila Anda suka mengintip dan menganggap tulisan ini perlu untuk dikutip, ya tak mengapalah. Silakan saja.
Jadi seperti tertulis pada judul, jika ada orang bertanya (terserah kepada bapaknya, ibunya, atau tetangganya); "Menulis cerpen apa ada kiatnya?" Jawab saja dengan lagak sok tahu: "Ya, adalah. . . .!"
Nah, begitu saja. Harus saya pungkasi sebab terlalu banyak ngobrol bakal ketahuan modal saya. Pun hari jelang tengah malam. Mohon maaf salah-kurangnya. Hanupis, alias hatur nuhun pisan, kawigatosanana. Matur nuwun awit kawigatosan penjenengan. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung, 30 Mei 2021 / 18 Syawal 1442
Sugiyanto Hadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H