Selain menggambarkan atau menceritakan, gunakan pula dialog untuk mengurai persoalan menuju konflik, hingga diperoleh happy - unhappy ending.
*
Tapi terus terang saya kerap tidak berhasil bikin cerpen manis, menyentuh dan menyenangkan. Sebagian besar justru cerita sedih. Itu sebabnya dulu kirim cerpen ke majalah wanita tak pernah dimuat. Satu pun tak ada. Cerita pendek dan novelet anak-anak yang lumayan dilirik redaktur. Kebanyakan cerpen dewasa saya buat dengan sekali tulis dimuat (pakai mesin tik, bermodal tippex dan kertas karbon untuk tembusan dokumentasi sendiri).
Kalau Anda kelahiran tahun 1960-an pasti mahfum nama Majalah Ultra, Junior, Violeta, Horison, dan koran minggu Kartika (Semarang). Ke sana muara saya berkreasi tulis-menulis. Menulis cerita anak juga lumayan banyak. Dimuat di majalah Bobo dan Kawanku (ketika masih merupakan majalah anak-anak).
Pernah sekali saja, cerpen saya dimuat di majalah musik Aktuil (Bandung). Honornya Rp 75 ribu, dikirim melalui surat. Lumayan banyak nilainya waktu itu (tahun  1980-an). Honor yang saya dapat, selain dari tabloid Gatutkaca (sisipan harian Kedaulatan Rakyat Minggu) yang harus diambil sendiri, biasanya dikirim via wesel. Selain nama pena Gik Sugiyanto HP, sesekali pakai nama samaran Wulan Sari.
Ketika berangkat menjadi calon PNS ke Manado, pada April 1983, semua kliping saya tinggal di Yogya. Sebagian masih berupa nomor bukti pemuatan (majalah/koran). Termasuk dokumentasi kertas tembusan cerpen yang dikirim, dimuat maupun gagal dimuat. Hilang. Mungkin di kilo-kan ke tukang loak oleh pemilik rumah yang saya tempati (numpang di rumah saudara).
*
Kombinasi antara menggambarkan dan menceritakan pun banyak digunakan orang. Rata-rata pengaarang fiksi menggunakan cara kombinasi ini. Namun, pengarang yang sangat kuat imajinasi maupun gaya bertuturnya dapat bertahan dengan terus menggambarkan. Ada pun hal-hal yang bersifat menceritakan terdapat dalam dialog. Sebabnya dialog menjadi bagian tak terpisahkan kadan keutuhan cerita.
Saya ambil sekadar referensi, bacalah buku berjudul "Arus Balik". Itu salah satu karya fenomenal pengarang Pramoedya Ananta Toer. Novel tebal itu menggunakan setting waktu tahun 1600-an (setelah kejayaann Kerajaan Majapahit).
Luar biasanya Pramoedya bercerita (sepemaham saya): kuat pada latar-belakang sejarah dari berbagai sudut pandang (kolonial/penjajah, pribumi/Jawa, pendatang Tionghwa) serta latar belakang agama/budaya  (Jawa/Kejawen, kolonial Belanda dan Portugis, Islam, Budda).
Kuat pula pada penggambaran karakter, padahal sangat banyak jumlahnya. Maklumlah, novel. Tiap karakter komplit dengan latar belakangnya, hingga logis seorang tokoh memang harus seperti itu karakternya. Dari segi diksi (pilihan kata) dan frasa (kumpulan kata), untuk menggambar hal yang sama tidak pernah ada pengulangan. Kalimat efisien karena kata "yang" jarang dipakai.