Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Meniru Rasul, Bersabar dan Memaafkan

13 Mei 2021   23:25 Diperbarui: 13 Mei 2021   23:40 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi ketupat lebaran -- ngaku lepat dan laku papat - jogja.tribunnews.com

Rasulullah dalam semua aspek kehidupannya merupakan suri-teladan bagi setiap muslim-muslimah. Baik sebagai seorang lelaki, seorang suami, seorang ayah, panglima perang, pimpinan pemerintahan, hingga sebagai warga masyarakat biasa.

Selain berbagai mukjizat yang menyertai perjalanan kenabiannya, Rasulullah sengaja menampakkan diri sebagai manusia biasa. Sifat bersahaja, miskin, terluka, sakit, kalah dalam perang, dan berbuat salah mewarnai kehidupannya.  

Beliau dalam kehidupan sehari-hari sengaja memperlihatkan dirinya sebagai manusia kebanyakan, sebab khawatir bakal terulang peristiwa kenabian sebelumnya yang dipertuhankan.

Terkait dengan kata memaafkan dan meminta maaf, Nabi Muhammad pun sangat memadai untuk dijadikan panutan.

Rasul memaafkan seseorang yang telah meracuninya setelah Perang Khaibar selesai. Adalah seorang perempuan Yahudi bernama Zainab binti Harits yang kehilangan ayah, suami dan paman dalam perang tersebut. Ia dendam dan membubuhkan racun pada paha domba panggang yang dihidangkan kepada Nabi.

Rasulullah sempat menggigit daging tersebut sebelum mendapat pemberitahuan (ada beberapa versi) bahwa makan tersebut beracun. Nabi selamat (tetapi hingga maut menjemput pengaruh racun tersebut dirasakan beliau). Nabi memaafkan Zainab. Tetapi kemudian diketahui ada salah seorang sahabat yang sama-sama memakan hidangan, dan tewas. Putusan dijatuhkan, si peracun dihukum rajam sampai mati. Tidak ada ampun.

*

Kisah Rasulullah di atas memberi gambaran betapa sangat pemurah Nabi Muhammad dalam memberi maaf. Saat mengetahui perempuan itu mengaku telah membubuhkan racun, ada seorang sahabat yang meminta izin untuk membunuh perempuan tersebut, tetapi Nabi menolak. Beliau justru memaafkan.

Kalau saja tidak ada yang memberitahu tenang adanya racun dalam makan yang terhidang, tentu akan lain lagi ceritanya. Dalam cerita itu Nabi bukan "hendak diracunI", tetapi sudah diracuni. Ada acun yang masu dalam tubuh beliau, dan hingga akhir hayat dirasakan akibatnya. Hal itu dalam kesakitannya diakui Nabi.

Namun, nasib si wanita peracun memang sudah ditentukan takdir. Diantara sahabat nabi yang ikut memakan hidangan, ada seorang sahabat diantara yang tewas. Maka tidak ada ampun lagi, hukum berlaku.

Nabi tidak mendendam, melainkan memberi maaf. Ada kesabaran luar biasa besar/dalam/berarti diperlihatkan di sana.  Namun, dibalik kesabaran ada hukum yang harus ditegakkan: kejahatan pembunuhan harus diganjar dengan hukuman mati.

*

Lepas dari hukuman mati (untuk tindak kriminal dengan dampak tertentu, yaitu kematian) memberi maaf merupakan tindakan mulia. Sedangkan meminta maaf dengan rendah hati, mengakui kesalahan, dan berjanji tidak akan mengulang perbuatan buruknya, merupakan ciri seorang ksatria.

Jangan sampai gara-gara ucapan, ejekan, perang mulut, salah pengertian, beda pendapat, dan beda orientasi politik tinbul tindak kriminal hingga pembunuhan. Sangat mudah mendapatkan peristiwa serupa itu pada media. Sakit hati, dendam, merasa dipermalukan, diselingkuhi, ditipu, ingkar janji, dan seribu-satu alasan lain, kerap membawa kondsi kejiwaan seseorang menjadi kalap dan kriminal.

Menurut Fuad Nashori tindakan orang lain yang menimbulkan rasa sakit hati ternyata menimbulkan berbagai dampak fisik dan psikologis. Mulai kesehatan jantung dan sistem peredaran darah , kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala, hingga sakit telinga. Sakit hati penyebab marah, dendam dan benci. Bahkan menjadi sumber stres dan depresi manusia.

Dua cara untuk menghalau sakit hati, yaitu bersabar dan memaafkan.

Diperlukan ketangguhan, kedewasaan, dan pikiran jauh ke depan untuk mampu bersabar. Bersabar diperlukan untuk mengantisipasi tindakan tergesa-gesa dan sembrono yang kelak akan sangat disesali. Sedangkan memaafkan merupakan tindakan untuk menjauh dari berbagai kemungkinan munculnya rasa sakit hati. Sebab pada akhirnya kita akan menyadari tindakan orang lain yang menyakitkan hati itu merupakan cobaan (berupa ketakutan, kelaparan, kehilangan harta dan jiwa) dari Allah. Maka kembalikan semua urusan itu kepada-Nya.

*

Terkait kata "memaafkan orang lain" dan perayaan Idul Fitri 1442 Hijriah, tidak ada tindakan yang lebih baik dari pada memaafkan tanpa syarat. Diikhlaskan saja sepenuhnya. Bersamaan dengan itu kita mawas diri, banyak berkaca, dan memantas-mantaskan diri sebagai seorang pemaaf sejati.

Jangan-jangan justru salah kita yang lebih banyak, lebih menyakitkan hati orang lain, lebih kriminal, dan seterusnya. Maka segeralah meminta maaf. Itu tindakan kesatria. Sebab berani jujur dan mengakui kesalahan. Tentu dengan kesanggupan dan janji sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.

*

Nah, itu saja tausiah singkat untuk diri sendiri, khususnya. Juga untuk pembaca sekalian, pada umumnya. Sekadar mengingatkan, Rasulullah pun memaafkan. Wallahu a'lam. ***

Cibaduyut, 13 Mei 2021 / 1 Syawal 1442
Sugiyanto Hadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun