Tidak sampai sepuluh menit, Mang Odang sudah tiba di depan pagar rumah. Alamat sesuai pesanan yang diterimanya. Ke rumah itu ia harus menjemput. Ia menyeru nama si pemesan. Tak lama keluarlah seorang perempuan.
"Nah, benar 'kan? Saya Seruni, saya menang. . . . . !"
Mang Odang terperanjat. Ia masih mengenali Seruni-nya di masa lalu. Sosok di depannya itu sudah berubah sama sekali. Tapi sosoknya ia tak lupa. Tak ada kata-kata  yang dapat diucapkannya. Kegugupan menyelinap di dada. Haruskah marah, jengkel, sedih, atau kecewa diungkitnya kembali?
"Saya bertaruh dengan ibu saya. Siapa yang tawarannya lebih diperhatikan dan dilayani. Tawaran Bu Sastri, ibu saya, atau tawaran saya.. . . ."
Mang Odang memilih tidak bicara apa-apa. Ia masih ingin memastikan gadis itu tidak sedang hilang ingatan. Tidak sedang stres atau mabuk. Lalu dengan deg-degan diantarkannya gadis itu ke mana hendak pergi. Ke pasar, lalu ke toko bunga, lanjut lagi ke pabrik roti, dan terakhir singgah di kafe. Beberapa saat lagi Maghrib, saatnya berbuka puasa. Mang Odang seperti dicucuk hidung mengikuti apa saja perintah Seruni. Ia ikut duduk di dalam kafe.
"Mang Odang lupa pada Seruni ya? Ini Seruni yang pernah menolak mentah-mentah cinta Mang Odang. Belasan tahun lalu. Lupa ya . . . ?"
Mang Odang bukan tidak ingat. Tetapi ia sudah sangat siap melupakannya. Ia sudah pasrah tidak memiliki Jalan Kenanga seperti yang diharapkannya. Ia sadar diri hanya seorang tukang ojek pada siang hari, dan tukang odading pada malam hari. Ia merasa tidak cukup siap untuk mengikuti olok-olok Seruni maupun Bu Sastri yang kaya dan mewah itu.
"Bicaralah sesuatu, Mang. . . . . !" bujuk Seruni penuh harap.
Mang Odang ingat ucapan Bu Sastri, "asalkan mau menerima keadaannya." Bagaimanakah keadaannya kini? Sudah janda dengan anak tiga? Atau, terkena penyakit gawat? Barangkali stress?
Ketika ada kesempatan pamit ke kamar kecil, Mang Odang diam-diam menyelinap pergi. Â Dari headsetnya terdengar lagi suara petikan gitar dari fingerstyle Alip Ba Ta. Lagu "Sepanjang Jalan Kenangan" mengalun lirih di telinganya. Sedih ia membayangkan seumur-umur bakal jadi jomblo. Melaju sepeda motornya ke arah pulang. Ia berketetapan hati hanya ada Jalan Kenanga, bukan Jalan Kenangan.***
Sekemirung, 20 Maret -- 29 April 2021
Sugiyanto Hadi