Tiap tahun Mang Odang dengan suka-rela memilah dan memilih untuk melucuti kenangan yang dianggapnya terlalu basi dan berkarat untuk dikoleksi. Terlalu banyak, membebanipikiran. Ya. maklumlah, meski sekolah hanya sampai tingkat menengah saja, penampilanya sering mengecoh para gadis.
Yang disisakan peristiwa yang terlampau spesial untuk dibuang. Satu diantaranya, apalagi kalau bukan kenangan di Jalan Kenanga. Seorang perempuan manis tinggal di situ. Dan ia lama menunggu jawab atas sebuah tanya: "Maukah kamu menikah denganku". Tapi sia-sia.
"Kenapa tidak? Jelaskan supaya aku tidak penasaran. Apalagi kalau mendadak harus mati. . . . . !" ucap Mang Odang mencandainya.
"Tidak perlu. . . . . !"
"Aneh. Lucu. Menyedihkan. Tidak ada yang lebih dari itu ketika seorang perjaka ditolak seorang gadis, tapi tanpa alasan apapun. . . . Â !"
"Bahkan bila kusebut satu alasan kamu pasti tak akan puas, lalu meminta alasan lain. Selanjutnya terjadi pemaksaan. Tidak. Tidak perlu ada alasan apapun. Kamu saja yang mestinya banyak-banyak mengaca diri, instrospeksi; tidak justru mencoba menyalahkan orang lain. . . . . !"
Sampai di situ tidak ada lagi pembicaraan. Mang Odang pulang dengan kecewa, digayuti perasaan sedih, dan air mata bocor dari pelupuk. Bahkan seseorang yang terlalu sering ditolak pun sangat berduka manakala tanpa diberi satu alasan pun. Seruni, nama gadis semampai dengan rambut kepang dua itu, menolaknya mentah-mentah, dengan spontan pula.
Jalan apapun tempat gadis-gais pernah ditaksir Mang Odang selalu disebutnya sebagai Jalan Kenanga. Bukan Jalan Angrek, Jalan Branjangan, atau Jalan Durian. Bukan yang lain. Kelak bila ia menemukan tambatan hati yang sesungguhnya, yang mau menerima cinta dan segenap kondisi alakadar yang dimilikinya, ia akan mengubah nama jalan di mana perempuan itu tinggal menjadi Jalan Kenangan. Tapi siapa? Â Kapan? Di mana? Entah.
Baca juga: Dua Kegembiraan bagi Orang yang Berpuasa
*
Demi pekerjaan Mang Odang rela berpindah-pindah kota. Waktu cepat sekali berganti. Tak terasa belasan tahun berlalu.Â