Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lupa Hari Jumat

11 Desember 2020   16:24 Diperbarui: 11 Desember 2020   16:25 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
covid 19 dan jamaah salat Jumat meluber ke luar masjid - bbc.com

Tidak ada orang yang sengaja ingin lupa. Tetapi lupa memang kerap datang tak terduga waktunya. Sulit dilogikakan kenapa harus ada. Dan terutama (bila dirasa-rasa dan disadari) jadi terasa aneh, menjengkelkan, tetapi lucu.

Ya, hari ini saya lupa kalau hari Jumat. Saya terlalu asyik di depan laptop menuis materi yang tertunda-tunda. Selintasan ada dalam ingatan, hari ini Sabtu. Jadi ketika tadi pagi anak bicara dan menyebut hari Jumat, saya pun tidak segera terbebas dari lupa. 

Bahkan isteri yang biasanya mengingatkan soal hari, siang ini pun ketularan lupa.  Hanya beberapa detik sebelum adzan berkumandang ia bertanya soal jam. Waktu, kurang seperempat jelang pukul 12.

*

Menunggu Adzan

Pada salat wajib berjamaah di masjid kebiasaan saya menunggu adzan baru berangkat ke masjid. Tetapi hari ini Jumat, dan itu berarti harus berangkat setidaknya 30 menit sebelum adzan berkumandang. Agar mendapatkan tempat di ruang utama. 

Di sana ada 2 buah AC yang menyejukkan. Kalau agak terlambat bisa mendapatkan ruang belakang dengan fasilitas kipas angin. Lebih terlambat lagi mendapatkan ruang samping yang terbuka, dengan fasilitas angin bertiup.

Jadi ya, begitulah. Saya datang saat adzan sudah berakhir, dan khotib memulai khotbahnya.

Saya masih beruntung mendapat tempat di sisi masjid. Sayangnya, tidak beratap. Tanpa kipas angin, apalagi AC. Suara khotib melalui loudspeaker pun kurang jelas sampai di luar masjid. 

Bahkan, siang ini meski mendung, sesekali matahari muncul dan menyoroti khusus kepada para jamaah Masjid Baabbussalam yang suka datang telat, sengaja atau tidak sengaja.

*

Kantuk, Khotib

Demikian pun masih ada sisi baik. Begitulah saya coba sedikit mengobati kekesalan dan kejengkelan. Pada diri sendiri saja, tentu saja.  Datang terlambat itu tidak mungkin diserang kantuk.

Muslim yang rajin Jumatan pasti maklum belaka para orang-orang yang tertimpa kondisi sangat tidak ideal. Didera kantuk tak tertahankan. Mungkin mereka datang ke masjid terlalu cepat, hingga menunggu lama. Lelah setelah salat sunah, lalu berdzikir atau membaca Al Qur'an, lalu pikiran kosong, suwung, dan siapa lagi yang datang selain kantuk.  

Saya pernah mengalaminya. Dan jangan berkilah kalau Anda pun pernah, atau malah sering, dalam kondisi serupa. Mungkin akibat kelelahan kerja, semalam kurang tidur, bossan terduduk lama tidak melakukan aktivitas apapun, dan banyak alasan lain.

Malu, sebab pernah kotak amal yang lewat tak terdeteksi. Tetangga jamaah pun tidak coba membangunkan. Pernah pula saat khotib memimpin melantunkan doa, kantuk masih bersimaharaja. Baru setelah ikomah diserukan, tergagap-gagap saya terbangun.

Siang ini saya fokus menyimak khotbah Khotib. Kebetulan hari ini Pak Nurdin Latif sebagai khotib. Beliau rutin setiap Ahad selepas Maghrib hingga jelang Isya' rutin mengadakan pengajian Fikih di masjid yang sama. Hari ini khotbahnya mengenai kebahagiaan.

*

Kebahagiaan,  Hukuman

Orang banyak salah jalan ketika mengejar kebahagiaan. Dikiranya kebahagiaan ada di tempat-tempat hiburan, ada di tempat-tempat rekreasi, ada di restoran-restoran. Kiranya kebahagiaan pada perjalanan wisata, berlimpah harta-benda, tinggi pangkat-jabatan. Bukan itu.

Khotib menjelaskan, kebahagiaan hakiki ada pada kedekatan kita kepada Allah Swt. Usaha untuk terus mendekatkan diri kepada Sang Khalik menjadi bentuk kebahagiaan tak terkira besar. Usaha mengatasi rasa bahagia dengan cara apapun yang lain, yang bersifat keduniawian, tak jarang justru salah jalan. 

Orang-orang yang mencari kebahagiaan dengan berbuat maksiat pada hakikatnya justru menjauh dari kebahagiaan itu sendiri.

Khotib mengambil contoh tentang Nabi Adam Alaihisalam (AS) dan Siti Hawa. Keduanya sudah diperingatkan Allah agar menjauhi pohon terlarang. Tetapi karena bujukan iblis, keduanya melanggar perintah. Hukuman untuk keduanya bukan hanya dicabut kebahagiaa yang mereka miliki, tetapi bahkan diusir dari surga.

Nabi Adam dan Siti Hawa menyadari kekeliruan mereka. Namun, sudah terlambat. Mereka diusir dari surge, dan turun ke bumi. Lalu keduanya bertobat, minta ampun. Tidak seketika ampunan diberikan. Nabi Adam dan Siti harus terpisah selama 100 tahun sebelum dipertemukan kembali.      

Kalimat (doa-doa) yang yang diucapkan Nabi Adam dalam tobatnya diajarkan langsung oleh Allah Swt, dan diabadikan dalam Surah Al-A'raf: 23, yang artinya:  "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi." 

*

Lupa, Doa

Tidak terasa hampir 40 menit saya terduduk di sisi masjid bersama puluhan orang lain yang tidak mendapatkan tempat di dalam masjid. Pada hari-hari sebelum merebaknya Covid-19 pun jamaah membludak, apalagi pada 9 bulan terakhir ini, saat ada keharusan menjadi jarak. Sementara itu atap tambahan yang dibuat sejak berminggu-minggu lalu belum juga selesai. Entah biayanya kurang, atau pengerjaannya yang lambat.

Maka suasana orang Jumat'an di luar masjid kondisinya jauh dari ideal. Beberapa orang memilih berteduh di teritisan rumah tetangga masjid. Yang lain ngobrol. ada pula petugas memfoto, yang lain membagikan masker untuk Jemaah yang belum bermasker. Satu-dua Jemaah masih berdatangan.

Begitu doa khotib selesai, iqomah diserukan. Orang-orang pun bergegas menggelar sajadah. Di jalan sisi kanan-kiri, dan depan masjid. Jarak dan kerapian shaf tak terjaga. Mungkin para pengurus masjid tidak pernah membayangkan, dan terlambat mengantisipasi, begitulah keadaannya. 

Dan lantaran lupa hari, lalu terlambat sampai ke masjid hingga harus iklhas berada di luar/halaman masjid, maka saya dapat melihat hal-hal itu semua, dan dapat menuliskannya sekarang.

*

Ingat, Telat

Itu saja. Bertahun-tahun ingat, dan sekali saja lupa, dan sangat kebetulan tentang hari Jumat. Mudah-mudahan Allah Swt mengampuni kelalaian saya.  Biasanya pada 30 menit, atau 40 menit, sebelum Khotib naik mimbar memberi salam buka "Assalamu'alaikum" saya sudah terduduk manis di shaf paling depan.  Hari ini telat. Apa boleh buat? Jengkel, tapi terasa lucu.

Mudah-mudahan bukan karena "faktor U", dan apalagi karena kepikunan. Mungkin saya terkena sindiran Khotib, yaitu mencari kebahagiaan melalui hobi menulis, begitu asyik hingga lupa. Wallahu a'lam bish-shawab. ***

Cibaduyut, 11 Desember 2020 / 25 Rabi'ul Akhir 1442

Simak tulisan lain bila berkenan:
bagi-edhy-dan-juliari-korupsi-itu-indah
hashim-edhy-prabowo-diangkat-dari-selokan-dan-bernyanyilah
jangan-malas-berucap-alhamdulillah
edhy-prabowo-bilang-maaf-susi-pudjiastuti-jawab-tenggelamkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun