Suatu hari saat hendak ke masjid jelang salat dhuhur, setelah berwudhu, saya berganti dengan pakaian khusus ibadah. Saya kenakan kemeja panjang, lalu sarung. Dan saat itu saya menyadari bahwa Allah telah berbaik hati memberi kelengkapan anggota tubuh. Dua lengan, lengkap dengan telapak dan jari-jemarinya. Dengan dua lengan saya lebih mudah mengenakan sarung.
Ketika itu tiba-tiba saya teringat dengan seorang pejabat yang hendak diwawancara pada pada sebuah studio tv di Ibukota. Ia berkemeja panjang, juga celana panjang. Bersisir rapi. Tersenyum, dan tampak sangat gagah ketika keluar dari ruang ganti. Â Belakangan saya baru tahu kemeja panjang itu untuk menyembunyikan lengan kirinya yang tiada, dan digantikan dengan lengan palsu. Saat itu saya berucap Alhamdulillah karena punya dua lengan utuh.
Pada kesempatan lain, saya dengan isteri melakukan olahraga pada sebuah taman kota. Sabtu dan Ahad banyak orang di sana. Selain berolah raga jalan kaki, bersepeda, main bulutangkis, dan senam; tak sedikit orang sekadar berbelanja. Berdesakan (saat itu belum suasana Covid-19) orang-orang dengan aneka kepentingan.
Diantara kerumunan, ada tiga orang saling bergandengan depan-belakang. Paling depan berkalung kotak speaker kecil dan menengadahkan tangan kanan. Dua orang di belakang menyanyi lagu, mengikuti suara musik dari speaker. Tiga orang tunanetra itu coba mengais rezeki: mengamen. Â
Kalau saja penglihatan mereka normal dan berfungsi baik, tentu mereka punya pekerjaan untuk menopang kebutuhan hidup. Ketiadaan penglihaan membuat banyak hal serba terbatas. Saat itu saya mengucap Alhamdulillah.
Cerita lain lagi. Dulu pernah saya bikin puisi untuk dikompetisikan. Puisi tentang beratnya perjuangan hidup. Seketika terpetik di kepala untuk menulis tentang nasib para pemecah batu Diantara kerja orang-orang desa yang punya kawasan galian C yaitu penambang pasir dan pemecah batu dengan peralatan palu besi.
Puisi rampung saya buat, tinggal mencari gambar pendukung. Saat itu saya temukan gambar yang lumayan menyentuh perasaan. Yaitu seorang pemecah baru perempuan yang terduduk di sisi gundukan batu yang sedang dipecahkannya. Di sampingnya tersandar sebuah kruk dari kayu. Ya, ia berkaki sebelah, hingga perlu perjuangan keras untuk sampai ke lokasi kerjanya itu.
Puisi itu  saya sesuaikan dengan gambar, dan terasa sekali muatan keprihatinan atas nasib orang itu. Saya pun mengucap Alhamdulillah diberi kelengkapan kaki dan pekerjaan yang tidak seberat perempuan itu.
Dari tiga hal di atas saya merasa prihatin. Mengingat hal itu  saya spontan mengucap Alhamdulillah, sebab saya diberi anggota tubuh lengkap, utuh, dan sehat. Semestinya saya lebih bersyukur, memanfaatkan kepemilikan ini dengan lebih baik, dan tak segan mengulurkan tangan membantu orang-orang yang secara fisik berkekurangan. di luar sana masih sangat banyak hal-hal tragis dan memilukan.Â
*
Benar juga ungkapan yang menyebut bahwa nikmat Allah tak terhitung. Bila pun coba-coba menghitung bakal tak mampu. Karena begitu banyaknya, untuk hal-hal yang terasa dan terlihat, hingga hal-hal yang di luar itu.
Senyum di bibir, kedip mata, hembus nafas, hingga aneka kerja organ dalam menandai karunia-Nya. tentu -dalam agama disebutkan- hanya untuk orang-orang yang berpikir. Juga angin semilir, sorot matahari siang hati, kicau burung di dahan di luar rumah, serta keasrian pemandangan bukit-hutan-langit kebiruan jauh di seberang sana. Tetapi anehnya, sekadar mengucap Alhamdulillah pun kadang kita lupa, atau sengaja melupakannya.
Mungkin kita terlalu sibuk dengan urusan kantor, rumah-tangga, bisnis, proyek, atau sebaliknya galau karena jadi pengangguran, jomblo, banyak utang, menderita satu penyakit, atau diselingkuhi pasangan hidup. Dengan berbagai urusan pelik itu hingga tak sempat sekadar mengucap Alhamdulillah. Tidak sempat bersyukur, tiada waktu untuk sedikit merendah, melena-lenakan beramal-ibadah, bahkan tak terpikirkan untuk menyadari pada setiap detik umur berkurang dan ajal kian dekat. Lupa, abai, tidak sadar untuk selalu bersandar ke hadiratNya.
Maka saat ini mari kita perbanyak ucapan Alhamdulillah. Apapun yang kita rasa, pikir, tatap, dengar, ucap, dan lakukan yang tidak bermakna maksiat awali dengan Bismillah (dan Alhamdulillah), dan akhiri dengan Alhamdulillah.
*
Lalu saya berhitung-hitung dalam hati: berapa kali dalam sehari saya mengucap Alhamdulillah? Begitu banyak fasilitas telah disediakan Allah untuk kemudahan dan kenyamanan hidup saya, tetapi berucap Alhamdulillah pun malas, enggan, lalai, pelit. Seolah tak perlu lagi sifat kasih dan sayang Allah.
Alhamdulillah merupakan ungkapan syukur yang biasa kita dengar dan ucapkan. Ada 11 kondisi sunah mengucap Alhamdulillah yaitu pada permulaan menulis karya, permulaan belajar atau mengajar, sebelum berceramah, setelah makan dan minum, ketika bersin, ketika melamar perempuan, keluar dari toilet, mengawali dan mengakhiri doa, mendapati nikmat atau terhindar dari bencana, ketika salah satu anggota keluarga meninggal dunia (selain mengucap istirja' - inna lillahi wa inna ilaihi rajiun),
Kata Alhamdulillah (tahmid) (artinya segala puji bagi Allah) merupakan salah satu kalimat thayyibah. Kalimat tahmid selengkapnya: alhamdulillahirabbil 'alamin, yang berarti "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam."
Mengucap kalimat thayyibah itu perlu diulang-ulang dan dibiasakan. Jangan sampai lupa, jangan segan menggerakkan bibir mengucapkannya. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung, 29 Nov -- 1 Des 2020 / 13 - 15 Rabi'ul Akhir 1442
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H