Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kios Baru, Selingkuhan, dan Perang Berkecamuk

8 November 2020   22:29 Diperbarui: 8 November 2020   22:32 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana rasanya menjadi Orang Kaya Baru alias OKB? Coba pandangi cermat gaya kekinian Yu Saripah dan Mujilah. Dua buruh gendong itu cepat berubah, sikap maupun penampilan. Tidak lagi sembarang berpakaian, kini rapi  dan tertata. Wajah berpoles, perawakan langsing, dan senyum menggemaskan.  

"Silakan singgah. Tertarik pada penjualnya? Satu orang masih ting-ting, satu sudah berpengalaman. Tinggal pilih. Ayo. . . , ayo, diborong, diborong. . . . Hakk. . . . eee!" seru Yu Saripah, dan diteruskan Mujilah menirukan suara Soimah seperti yang dilihatnya di layar tv.

Orang ramai lalu-lalang memperhatikan sepintas, tapi tidak mampir. Hanya tersenyum. Kemudian seorang ibu tua mendekat. Rupanya ada juga yang kenal pada Yu Saripah dan Mujilah. Kenal di pasar Gede mungkin. Ia berhenti bukan untuk membeli, tapi sekadar bertanya lantaran heran.

"Lho. . . , kalian sudah punya kios sendiri, ya? Wah, nggak nyangka."

"Alhamdulillah. Bu Salmah, ada rezeki nomplok. Jadi, ini kami belajar untuk berjualan sendiri. Siapa tahu kelak maju, bisa membeli kios di pasar Gede. . . . . "

Bu Salmah -nama ibu tua itu- mendekat, dengan wajah penasaran. Lalu berbisik: "Dibiayai calon suami, ya? Atau selingkuhan?""

Yu Saripah dan Mujilah tertawa bareng. Mengangguk-angguk, dan mengacungkan jempol. Keduanya punya prinsip, tidak baik mencederai pembeli, meski masih calon. Jadi keduanya tidak menjawab apa-apa.

Untuk mengalihkan pembicaraan, Mujilah cepat menawarkan dagangannya. Kerupuk udang, emping, kacang bawang, rengginang, ikan asin, gula merah, dan aneka oleh-oleh khas setempat, mentah maupun mateng. Bu Salmah membeli setelah Mujilah menawarkan murah, seperti harga modal. Tanpa untung. Yang penting ada pembeli.

"Terima kasih, sudah datang, Bu Salmah. Sering-sering belanja ke sini ya, Bu. Kami tawarkan harga spesial dibawah harga banderol. . . . . . !" ucap Yu Saripah dengan nada SPG professional.

"Kamu kok sudah pentes betul jadi pemilik kios.. . .  !" ujar Bu Salmah sambil mencubit lengan Yu Saripah. Lalu membayar sejumlah uang, dan berlalu dari kios baru itu.

*

Hari itu tak sampai sepuluh orang pembeli di kios Mirah. Itu hari ketiga. Dua hari sebelumnya hanya tiga orang pembeli, tiga orang bertanya dan menawar tapi tidak membeli. Yu Saripah dan Mujilah senang bukan main. Mereka cuma perlu lebih gigih menawarkan dan menarik hati pembeli.

"Benar juga kata pasangan Youtubers baik hati itu ya, Yu? Kita harus cari terobosan. Tarik hati pembeli dengan cara apa saja, asal bukan dengan menipu. Bila pembeli sudah banyak, pelan-pelan kita naikkan harga hingga dapat menutupi biaya sewa kios, makan-minum, serta mendapat sedikit keuntungan untuk tabungan. . . . !" seru Mujilah saat keduanya menikmati nasi pecel sebagai makan siang.

"Kamu cerdas, Jilah. Itulah yang sudah kita lakukan saat ini. Sebulan dua bulan pertama impas pun sudah Alhamdulillah."

Keduanya sedang melahap makan siang. Walaupun berstatus pemilik kios, menu makanan keduanya tak berubah: nasi sayur lodeh, tahu-tempe, sepotong pindang, dan sambel. Minumnya teh pahit panas.

"Minggu depan kita sudah harus gantian jaga kios. Selama belum ada keuntungan dari kios maka biasa makan ya dari buruh gendong. Begitu 'kan, Yu?"

"Tepat.  Makan minum seadanya, seperti biasa. Jangan boros. Dan satu hal lagi, kita harus saling jujur. Jangan sampai gara-gara rezeki nomplok kita jadi musuh. . . . . !"

"Jangan sampai. Kita harus jujur. Apapun yang terjadi, kita tetap sebagai teman baik."

"Meski tampak layaknya emak dan anak ya. . . .hahaha!"

*

Di Pasar Gede, Mas Bagiyo, si penjual soto ayam, menunggu-nunggu Yu Saripah dan Mujilah. Tetapi yang ditunggu tak kunjung datang. Ada hal penting yang ingin disampaikannya. Penting sekali: ajakan untuk nikah. Salah satu saja, siapa yang mau. Tapi kalau dua-duanya mau, ya tidak masalah.

"Anakmu sudah lima, Mas.  Ingat itu. . . . !"

"Betul. Tapi perempuan semua. Aku ingin anak lelaki. . . . !"

Baru enak-enaknya Mas Bagiyo melamun, Mbakyu Sumyah datang. Sesekali saja isteri Mas Bagiyo itu menyambangi.  Tujuannya apa lagi kalau bukan memata-matai si mata keranjang, suaminya. Para tetangga pasar, para penjual menu kuliner di tempat itu, sudah hafal apa yang akan terjadi. Bila si isteri datang, tak lama kemudian pertengkaran pun pecah.

Sudah beberapa kali kejadian serupa berulang. Mas Bagiyo mau nikah lagi tapi ditolak. Sekadar mata keranjang pun tidak boleh. Isteri cerewet dan galak. 'Kan jadi repot urusannya, gerutu Mas Bagiyo setiap kali.

Dan betul saja. Perang berkecamuk dengan hebatnya. Petugas keamanan pasar terpaksa didatangkan. Mas Bagiyo dan Mbakyu Sumyah itu dibawa ke kantor Dinas Pasar untuk didamaikan.

Sisa soto ayam dengan nasi dan lauk-pauknya dibagi-bagikan kepada siapa saja. Para buruh gendong, tukang becak, dan pedagang asongan mendapat kesempatan pertama. Begitulah keadaannya, setiap kali terjadi perang di los soto ayam, mereka berpesta. ***

Sekemirung, 11 Sept -- 8 Nov 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun