Hari itu tak sampai sepuluh orang pembeli di kios Mirah. Itu hari ketiga. Dua hari sebelumnya hanya tiga orang pembeli, tiga orang bertanya dan menawar tapi tidak membeli. Yu Saripah dan Mujilah senang bukan main. Mereka cuma perlu lebih gigih menawarkan dan menarik hati pembeli.
"Benar juga kata pasangan Youtubers baik hati itu ya, Yu? Kita harus cari terobosan. Tarik hati pembeli dengan cara apa saja, asal bukan dengan menipu. Bila pembeli sudah banyak, pelan-pelan kita naikkan harga hingga dapat menutupi biaya sewa kios, makan-minum, serta mendapat sedikit keuntungan untuk tabungan. . . . !" seru Mujilah saat keduanya menikmati nasi pecel sebagai makan siang.
"Kamu cerdas, Jilah. Itulah yang sudah kita lakukan saat ini. Sebulan dua bulan pertama impas pun sudah Alhamdulillah."
Keduanya sedang melahap makan siang. Walaupun berstatus pemilik kios, menu makanan keduanya tak berubah: nasi sayur lodeh, tahu-tempe, sepotong pindang, dan sambel. Minumnya teh pahit panas.
"Minggu depan kita sudah harus gantian jaga kios. Selama belum ada keuntungan dari kios maka biasa makan ya dari buruh gendong. Begitu 'kan, Yu?"
"Tepat. Â Makan minum seadanya, seperti biasa. Jangan boros. Dan satu hal lagi, kita harus saling jujur. Jangan sampai gara-gara rezeki nomplok kita jadi musuh. . . . . !"
"Jangan sampai. Kita harus jujur. Apapun yang terjadi, kita tetap sebagai teman baik."
"Meski tampak layaknya emak dan anak ya. . . .hahaha!"
*
Di Pasar Gede, Mas Bagiyo, si penjual soto ayam, menunggu-nunggu Yu Saripah dan Mujilah. Tetapi yang ditunggu tak kunjung datang. Ada hal penting yang ingin disampaikannya. Penting sekali: ajakan untuk nikah. Salah satu saja, siapa yang mau. Tapi kalau dua-duanya mau, ya tidak masalah.
"Anakmu sudah lima, Mas. Â Ingat itu. . . . !"