Tiga orang lelaki itu berjalan beriring-iring di pematang sawah. Pasar desa tujuan mereka. Embun subuh masih lekat di ujung daun-daun jagung muda, di pucuk-pucuk putih bunga ilalang.
Sepanjang jalan mereka berceloteh. Terutama dua lelaki muda itu.
"Soto sapi pasti enak sekali, ya. . . . " seru di bungsu. Ia berjalan setengah berlari paling belakang. Nyaring suaranya memecah sunyi pagi disela suara langkah bapak dan kakaknya terseret-seret. "Kalau boleh, dua mangkok pasti kuhabiskan. Pasti enak sekali. Bahkan sekarang pun aromanya sudah menyengat hidungku. . . . . !"
"Terbalik, Dik. Bukan dua mangkok soto sapi dan separing nasi. Tapi semangkok soto sapi dan dua piring nasi. Rencanaku juga begitu. Tambah tempe goreng, perkedel kentang, kerupuk, dan sambel terasi dua sendok," sahut si sulung. "Dan minumnya? Kamu tahu apa yang paling aku suka?"
"Susu jahe panas . . . . ."
"Betul."
Bapak diam, tidak menyahuti percakapan dua anaknya itu, dan mempercepat langkah. Dalam hati kecil hanya bergumam sendiri: "Mudah-mudahan uangnya cukup."
*
Di kantor Polsek, saat menunggu pemeriksaan.
"Kalau saja kalian bilang baik-baik, berterus-terang minta, pasti kuberi sebanyak yang kalian suka," geram di pemilik kebun kepada para pencuri saat melapor ke kantor polisi.
"Kami khilaf, Pak. Minta maaf. . . . !" ujar si bapak dengan kepala tertunduk.