Beberapa hari lalu seorang teman meninggal dunia. Umur memang jelang 65. Tetapi semangat kerjanya masih tinggi. Setelah pensiun, ia mendapatkan tawaran bekerja lagi. Bidang kerjanya termasuk langka. Dan ia cukup mumpuni dalam bidang itu. Jadilah ia kembali sibuk.
Hampir tiap minggu ke luar kota. Ketika teman-teman lain menjalani kehidupan pensiunan dengan berkumpul, memperbanyak beramal-badah, bersilaturahim, berwisata, atau mendatangi anak/cucu di dalam/luar kota; ia tidak dapat melakukan kemewahan itu.
Tidak ada waktu luang selain untuk bekerja. Tetapi harus ke luar kota, meninggal keluarga. Secara finansial berlebih, tetapi mungkin ia merasa letih juga.
Tiba-tiba ia sakit, dan ajal menjemput. Temana-teman kaget, tapi begitulah memang jalan hidupnya.
*
Terkait dengan kehidupan pensiunan memang ada hal menarik. Entah kenapa pensiunan kerap jadi obyek perbandingan. Meski kehidupan pensiunan sederhana, cenderung kurang, ada saja yang menyikapinya dengan iri.
"Kamu enak, tanpa kerja keras pun tiap bulan ada penghasilan tetap yang dapat ditunggu." ucap seorang kawan yang hidupnya tampak nyaman sebagai wiraswastawan. Lalu diteruskan dengan kata-kata: "Nah, aku?"
Saya hanya bisa tersenyum, tidak coba berkilah atau berargumentasi sesuatu. Mungkin teman itu ingin sekadar menyenangkan hati orang. Atau, jangan-jangan ia mengejek?
Tujuh tahun sudah saya pensiun. Dunia kerja sudah lama terlupakan. Teman-teman seangkatan maupun adik angkatan di kantor pun sudah pada pensiun. Tinggal para junior yang menduduki jabatan, atau berpindah ke luar daerah. Selebihnya para pegawai baru, tidak kenal.
Namun, dari rutinitas pada masa kerja itu masih ada satu hal yang tersisa, yaitu kebiasaan dan kegemaran menulis.
*