"Bedakan kapten lapangan dengan kapten di balik pintu. Kapten lapangan tentu saja senior kita. orang lain tak mungkin menyamai kemampuannya. . . . . !" ujar panitia demo sambil meletakkan telunju angan kanan di bibir.
Rapat penting tidak harus bertemu. Lewat online pun memadai. Yang penting gerak cepat dan tak terungkap.
Celakanya, demo selalu disertai rusuh dan diakhiri rusak. Tidak di sini, tidak di sana. Tapi di mana saja. Tiap kota para pendemonya pamer kehebatan. Pamer siapa yang beritanya menasional, bahkan internasional. Tak ada secuil pun rasa sesal. Mental dan temperamental kita tampaknya sama, sama-sama kurang sehat, mungkin sudah sakit parah.
Kurang afdol repot berdemo tanpa bakar-bakaran, tanpa bentrok dengan petugas keamanan. Kurang hebat tanpa kehebohan para politisi maupun akademisi, Â para pemuka masyarakat, serta para peserta demo itu sendiri.
Beberapa hari ini pun pecah demo di beberapa kota. Setahun lalu demo rusuh juga pecah. Pilpres waktu itu. Sengit dan kalap. Ya, bayangkanlah brutalnya perilaku orang-orang kalah. Kali ini mengenai Undang-Undang Cipta Kerja yang terlanjur disahkan DPR RI. Entah esok dan lusa mengenai apalagi?
Seorang bupati perempuan lantang membela para pendemo. Dalihnya, pra buruh merupakan rakyatnya. Sedangkan para pengusaha mungkin bukan rakyatnya. Entah darimana logika seperti itu ia peroleh?
*
Primitif, Tak Peduli
Demo boleh dan dilindungi undang-undang. Tetapi berdemo anarkistis serta merusak harus dihentikan. Â Sebab perilaku demikian sangat primitif, arogan, semena-mena, dan biadab.
Tapi itulah wajah kita hari ini. Mohon maklum, dan jangan diambil hati.
Dan lelaki yang terjebak di tengah pusaran demo itu berjalan pulang dengan merangkak. Mungkin ia terkena timpukan batu di punggung. Bisa jadi ia kena salah tangkap aparat. Atau jangan-jangan ia remuk terinjak-injak para pendemo yang kocar-kacir melarikan diri, lantaran semprotan gas air mata petugas selepas mereka membumihanguskan banyak sasaran.