Lelaki paruh baya itu terjebak keriuhan demo. Bodohnya, ia tidak mengerti ujung-pangkal tuntutan para pendemo. Demo itu selintasan tertib dan baik-baik saja, tapi gelegar suara sejumlah oratornya layaknya hendak merubuhkan gedung-gedung tinggi, seperti angin beliung untuk membongkar aneka fasilias umum dan pohon-pohon mahoni peneduh jalanan.
Serupa hendak memecahkan gendang telinga siapapun di sekeliling area demo. Mereka terus bergerak, merangsek, berarak-arak menjejak ke tengah kota, pada siang bolong dalam dalam suasana mendung.
Pagi tadi sebelum berangkat seseorang bertanya.
"Mau ke mana, Bang? Sudah, di rumah saja. Cari makan bisa esok, atau lusa. Hari-hari ini lagi marak demo. Kecuali memang mau ikut demo. Lumayanlah selembar dapat uang merah. . . . . Â !" kata seorang sohib memperingatkan dengan wanti-wanti.
Tetapi lelaki itu seperti tidak peduli. Dan tersenyum kecil, dengan keyakinan penuh, rezeki harus dijemput. Apapun resikonya.
Dan terbukti kemudian, bukan hanya lelaki lugu itu yang terjebak dalam kecanggungan. Mungkin ratusan atau ribuan orang senasib dengannya. Bingung, tidak tahu, tercengang.
Dan pasti saja para pendemo tak mau peduli. Saat-saat seperti itu mereka merasa jumawa, hanya hasrat dan syahwat kelompok mereka yang pantas diutamakan. Orang lain tidak, dan tak perlu diambil peduli. Tapi tunggu, jangan-jangan kita ada diantara mereka?
*
Alangkah Kacaunya Negeri Ini
Berdalih demo sebagai manifestasi hak. Â Ya, setiap warga negara dilindungi undang-undang. Itu seruan kita di mana-mana. Anak-anak sekolah menengah pun ikut-ikutan demo. Ketika tertangkap aparat keamanan para orangtua juga yang bingung.
Mirisnya ada seorang kepala daerah yang seolah-olah mendukung para pelajar ikut demo.