Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebih Baik Bercerai daripada Bersuamikan Mukidi

20 September 2020   16:28 Diperbarui: 20 September 2020   16:35 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena keterpaksaan kerap kata cerai menjadi pilihan akhir, meski malu. Ketika terjadi pernikahan disebarluaskan, sebaliknya perceraian ditutup-tutupi. Pernikahan pasangan ideal secara mewah, sakral, dan meriah, tidak menjamin kelancaran dan keabadian sesudahnya.

Pasangan artis maupun public figure banyak menjadi sorotan. Begitu pun warga awam, masyarakat kebanyakan, sesekali menjadi bahan pemberiaan. Seperti yang belum lama ini menjadi viral: "Video Antrean Orang Mau Cerai" di Pengadilan Agama Jadi bukan hanya membeli sepeda merek favorit yang harus antri dan inden, untuk urusan gugat cerai pun harus sabar antri. Hari itu di sana ada 150 orang antri urusan gugat cerai.

Sontak pemberitaan serupa di daerah-daerah lain pun bermunculan. Berikut beberapa judul berita di media:
- 5 Bulan Terakhir, Kasus Perceraian di Aceh Capai 2.397, Ternyata Ini Pemicunya.
- Ada 2.000 Kasus Perceraian di Cianjur, Salah Satu Pemicunya karena Faktor Ekonomi  
- Selama Pandemi Covid-19, Kasus Perceraian di Jakarta Timur Mencapai 900

Daerah-daerah lain mungkin lebih banyak kasusnya, dan sudah diberitakan media pula. Tiap daerah seperti berlomba-lomba menunjukkan keunggulan mereka (sayangnya dalam hal yang kurang baik).

*

Tidak ada orang yang sempurna, dan hal ini pasti sudah diketahui dan disadari setiap pasangan yang hendak menikah.  Tiap-tiap pasangan boleh saja berharap tinggi, ideal, dan bahkan sempurna. Namun, dengan itu harus bersiap-siap untuk kecewa, menyesal, dan akhirnya marah pada diri sendiri maupun pasangan.

Maka alangkah lebih baik bila calon suami dan calon isteri (yang akan berpasangan melalui sebuah perkawinan) mempelajari diri sendiri dulu. Mengetahui lebih dan kurangnya, lalu dicocokan dengan kondisi calon pasangan untuk saling mendukung menambal kekurangan masing-masing.

Setidaknya beberapa hal berikut patut dicermati.  Pertama, penampilan dan kemampuan fisik (termasuk vitalitas bagi pria, dan kesuburan bagi wanita. Kedua, kecakapan/keterampilan dalam bekerja menghasilkan uang dan menambah kemampuan finansial yang sudah dimiliki. Ketiga, kemampuan dan kesanggupan spiritual (ibadah, ketakwaan, sikap-mental agamis, kesetiaan pada pasangan, kejujuran, dan moralitas). Keempat, kesanggupan hidup sederhana (terlebih ketika memulai dari nol dalam berumah-tangga) serta bersosialisasi dengan kerabat-tetangga-kolega.

Memiliki hal-hal ideal pastilah sangat bagus. Tetapi lebih bagus bila calon suami dan calon isteri (punya kesadaran tinggi) terus belajar untuk menerima kenyataan dan kekurangan pasangan masing-masing. Bahkan bikla pasangan punya kelebihan harus disyukuri. Bukan malah dicurigai, membuat iri, atau tidak mau mengakui.

*

Dalam kaitan dengan peristiwa KDRT di atas, mestinya sejak awal Maryati menyadari suaminya seorang pencemburu. Dari ucapan, tanggapan, dan sikapnya mesti diketahui. Apalagi bila (di mata Mukidi) keponakan itu lebih ganteng, lebih pintar, lebih mudah bergaul dan penuh humor, dan lebih-lebih lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun