Makian merupakan kata-kata tak perlu. Tak bermakna, dan sia-sia. Tetapi kita terbisa mengucapkannya. Sejak kecil malah, meski secara sembunyi-sembunyi. Nama-nama binatang sering kita jadikan kata makian. Selebihnya jenis kelamin, anggota tubuh, ungkapan jorok, perempuan nakal, dan banyak lagi.
Tiap daerah punya kosa kata makian masing-masing. Negeri ini punya banyak bahasa daerah. Sebanyak itu pula pebendaharan makian digunakan dan "dilestarikan" penggunanya. Orang bangga (mungkin tanpa sadar/sengaja) dengan kata-kata itu. Sebab ungkapan demikian sekaligus sebagai penunjuk asal-usul daerah dan sukunya.
Itu saja pengantar untuk memperbincangkan kata anjay yang beberapa waktu lalu ramai dipro-kontrakan, dan menjadi viral serta trending topic.
Asu, Anjay
Sudah disebut pada alinea awal, nama-nama hewan menjadi perbendaharaan makian kita. Selain asu (anjing), monyet dan babi, tak jarang orang memaki dengan nama hewan jangkrik, kirik (anak anjing), wedus (kambing), kebo (kerbau), dan precil (anak katak).
Saat kecil, saya tinggal pada sebuah kota kecamatan, kreasi tiap orang dalam memilih kata-kata makian sangat variatif. Kata-kata itu dilontarkan kepada orang, dalam suasana hati dan perasaan tertentu, dan secara spontan. Itu sebabnya ada orang yang latah. Dan kelatahan itu menjadi bahan tertawaan. Terlebih bila yang diucapkan kata-kata jorok, porno, mesum.
Yang mengherankan, kata-kata makian -dengan segenap varian dan kreasi itu- kerap dimaknai sebagai candaan, tidak bermaksud menghina, dan menunjukkan keakraban pertemanan. Dan biasanya pertemanan yang seperti itu terjadi di luar lingkup formal (kantor, dunia pendidikan, rumah ibadah, dan sebagainya). Terjadi di dunia nonformal: tempat pemancingan, lapangan sepakbola/bola voli, antar pemain gaple/domino atau main catur,
Waktu saya kecil makian "asu" rasanya tidak ada dilingkungan anak-anak, melainkan pada orang-orang remaja dan dewasa.
Sekian lama merantau, kemudian saya pindah ke Bandung, baru saya rasakan nuansa makian yang sangat kental di mulut anak-anak seusia SD. Di kampung-kampung terutama makian "anjrit, njing, dan anjing". Telinga saya risih karena belum terbiasa saja. Tak jarang terpikir untuk mendekati mereka dan usul agar kata-kata makiannya ditambah dengan gajah, nyamuk, tokek, buaya, dan ayam. Usul lain, agar imbuhan kata "si" (si Asep, si Kakek, si Bos) setiap penyebutan nama atau sebutan orang dihilangkan. Tetapi rencana itu tak pernah saya realisasikan.
Satu kata yang sangka saya berasal dari kata anjing, yaitu aing. Isteri pernah bertanya ke tetangga yang asli Sunda, dan menyatakan sangkaan saya keliru. Tetapi rasa bahasa saya kata itu tetap saja anjing. Mungkin seperti satu kata yang beberapa waktu sempat viral, yaitu anjay. Dalam benak saya kata itu ya anjing. Padahal mungkin saja singkatan dari kata: anak jayengan (nama tempat), anak manja, dan aneka jajanan yumi.
*
Makian, Sumpah Serapah
Lepas dari urusan candaan atau sekadar gurauan dan hal semacam itu, makian tetap saja makian. Sebab pilihan kata itu disertai dengan raut wajah keras, mata melotot, tekanan kata kasar-membentak, dan tak jarang ditambahi tindakan lain: mengancam, merusak, atau menyakiti.
Gara-gara makian di tempat umum (diantara sesama pengguna jalan) sering terjadi percekcokan, perkelahian, dan bahkan pembunuhan. Makian yang semula (dalam kondisi tertentu dianggap sekadar guyonan dan bahan lawakan) pada kondisi tertentu (panas cuaca, lelah, terburu-buru) menjadi pemicu hal-hal yang buruk.
Diberitakan media, lantaran adu cepat mencapai pintu tol maka sopir dua kendaraan terjadi adu mulut. Setelah saling maki dan ancam diteruskan berkelahi di pinggir jalan tol. Sopir tua lebih dahulu memukul, dibalas sopir muda. Dan seketika pak Tua terjengkang, jatuh, lalu bawa ke rumah sakit, dan tak lama kemudian menemui ajal.
Ada berita lain. Gara-gara saling ejek di media sosial, dilanjutkan dengan saling maki, dua orang pelajar sepakat untuk menyelesaikan dengan berkelahi. Salah satu anak tewas oleh senjata tajam yang dibawa lawannya. Suami-isteri karena urusan rumahtangga saling maki, lalu cerai. Bapak dan anak lelaki bertengkar, anaknya spontan memaki hingga bapak kalap. Anak tewas di tangan bapak yang membawa senjata tajam.
Bermula dari makian (dan selanjutnya menjadi sumpah-serapah), meski huruf dan suku katanya sudah sedemikian rupa diubah/diperhalus atau dipermak, tetap saja terasa menyakiti.
Berita di media itu dapat terjadi pada siapapun, terlebih yang terbiasa memaki dan mengucapkan kata-kata kotor-kasar-buruk-mesum-sadis.
*
Menyakiti Perasaan
Untuk itu lebih baik hilangkan kebiasaan memaki. Jangan biasakan berkata-kata kotor dan tak perlu. Bila pun sesekali terucap maka segeralah ber-istigfar. Minta maaf kepada orang lain yang mungkin tersakiti/terluka perasaannya. Mohon ampun kepada Allah.
Ungkapan spontan dan apalagi latah bukan sesuatu yang bagus digunakan sebagai candaan, apalagi dimaknai sebagai kebanggaan. Ucapan untuk mensifati orang (kondisi fisik maupun mentalnya) saat itu dapat dikatakan mem-bully.
Tidak ada orang yang mau disakiti hatinya. Terkecuali orang yang punya kesabaran diri yang cukup, sakit hati akan dibalas spontan denga tindakan tak terkendali. Hingga kerap terjadilah hal-hal buruk tak terduga.
Kata-kata yang terbaik diucapkan kapan pun, bahkan dalam keadaan terkejut, kesakitan, ketakutan, dan hal-hal lain yang tak terduga, yaitu mengucapkan kata-kata toyibah, istigfar, dan doa. Membiasakan diri untuk mengucapkan kata-kata yang baik dimulai dari kecil, misalnya saat kita bersin.
Agama mengajarkan mengucapkan kata "Alhamdulillah", dan bukan kata apapun lainnya yang tak perlu. Sebab ternyata bersin merupakan proses mengeluarkan virus yang coba menyerang tubuh. Kata-kata baik itu sekaligus sebagai persiapan menghadapi ajal.
Saat maut menjemput, yang ditandai dengan kesakitan yang amat sangat, maka kata-kata yang terbiasa diucapkan itulah yang reflek tersembur: makian (orang pemarah), lirik nyanyian (penyanyi), hitung-hitungan bunga (tukang kredit/membungakan uang), kata-kata mesum (perempuan nakal), dan seterusnya. Â
*
Hentikan
Mungkin saat ini kata anjay sudah tidak dipermasalahkan lagi, tidak penting lagi dibahas, apakah kata itu makian atau bukan. Tetapi sebaiknya dijauhi dulu. Kalau sekadar ungkapan kagum-terpesona-senang-terperanjat dan seterusnya masih banyak kata-kata lain yang jelas ucapan dan maknanya.
Kalau ingin menggunakan kata-kata berbeda ya tinggal comot saja yang sudah ada. Kalau bahasa ibu/daerah dan bahasa Indonesia sudah bosan, cari bahasa Inggris. Bila kurang keren dan terlalu biasa bolehlah ambil bahasa Prancis, Jepang, India, Arab, atau bahasa asing lain. Â Toh hanya satu-dua kata, tak lebih. Mbah Google, khususnya Google Translate, pasti dengan senang hati membantu.
Nah, itu saja. Lepas dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) penghentian penggunaan kata anjay (karena termasuk dalam kekerasan verbal dan dapat dipidanakan), mari hapus semua makian dan kata-kata tak perlu dalam kamus keseharian kita. Ganti saja dengan kata-kata lain yang menyehatkan, menyenangkan, menginspirasi, dan membuat nyaman. Wallahu a'lam. ***
Sekemirung, 15 September 2020 Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H