Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Hanya di Antara Jimun, Sarmi, dan Pak Wo (2)

7 Agustus 2020   22:04 Diperbarui: 7 Agustus 2020   21:53 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pencari rumput - www.solopos.com

Cerita sebelumnya: Sarmi menikah dengan Jimun, seorang buruh bangunan dengan penghasilan tidak tetap. Mereka dengan 3 anak tinggal di rumah sederhana di atas tanah milik Pak Wo. Pak Wo yang tua itu agaknya pernah menaruh hati pada Sarmi. Kala itu isterinya masih ada. Sarmi tahu, tapi ia memilih Jimun yang seusia tetapi ternyata pencemburu. (Selengkapnya di sini )

Tak disadari Sarmi, rupanya Kang Jimun sudah beringsut dari tempat duduknya. Lalu diam-diam berlari ke arah rumah utama. Ia mencari-cari seseorang. Dan ditemukannya di kandang sapi.

"Jimun. . . . ! Tumben? Tidak ada buruhan hari ini?"

"Sudah sepuluh hari lebih libur, Pak Wo. Hidup makin susah," jawab Jimun seraya mendekat dan membantu memasukkan rumput ke kandang sapi.  "Tiba-tiba Jimun punya ide bagus. Kalau Pak Wo setuju, tapi maaf ya."

"Ada apa, Jim? Kok kayaknya serius amat? Soal tunggakan sewa tanah? Tadi isterimu sudah bilang. Empat bulan nunggak, kalau Pak Wo ini bukan orang baik kamu sudah diusir. . . . . !"

Jimun terdiam. Dan kembali menimbang rencananya yang tak lazim. Aneh, dan pasti dicela orang bila sampai terbongkar nanti.

Selesai memberi pakan sapi, Pak Wo mengajak Jimun duduk di bangku bambu di teras rumahnya yang besar dan mentereng.

"Kamu tidak pernah seserius ini. Ada apa, Jim?"

Jimun menarik nafas panjang, lalu bicara lirih. Dekat di telinga Pak Wo. Berharap tidak ada orang lain yang mendengar. Pak Wo mendekatkan daun telinga, mendengarkan serius, lalu tersenyum.

*

Kemarau makin galak memanggang. anas dan pengap suasana siang. Dan begitu pula suasana rumah tangga Jimun dan Sarmi. Mereka bertengkar hebat hingga para tetangga berdatangan untuk melerai. Lagi-lagi soal cemburu, ditambah kondisi ekonomi keluarga yang payah. Juga soal pekerjaan yang tak kunjung didapat.

Jimun minggat. Ia menalak tiga isterinya. Sarmi ditinggal bersama tiga anak untuk hidup sendiri. Siang malam ia menangis. Beruntung Pak Wo membantu. Anak-anak makan di rumah duda tua itu. Sarmi bertahan tidak makan. Kalau ada tetangga lain yang mengantar makanan baru ia memakannya.

Karena pertengkaran itu sebulan kemudian Bu Kades memerlukan datang. Agaknya ia sudah mendapat informasi dari kanan kiri. Jadi, nasihatnya lugas. "Jadi janda itu tidak enak. Salah-salah bisa bikin urusan polisi. Sebab banyak lelaki yang mau. Dan rata-rata mereka hanya mau senang. Mengapa kamu tidak minta dinikahi Pak Wo saja. . . .!"

"Pak Wo? Ibu ini menasihati atau mau menjerumuskan saya?" seru Sarmi dengan mata mendelik.

Bu Kades tidak ingin bertengkar. Ia mengeluarkan amplop isinya beberapa lembar uang. Lalu menurunkan sembako dari mobilnya. "Jangan marah. Pikirkan saja dulu dengan tenang. Nanti kalau uangmu habis Ibu datang lagi. Sambil menunggu apa keputusanmu. Ibu tidak mau ada janda cantik seperti kamu di desa ini. Dulu pernah kejadian, ada janda cantik bikin ulah, jadi urusan kriminal. Beberapa lelaki yang ingin memperisteri saling melukai, ada yang terbunuh. Nama desa cemar. . . . . !"

Sarmi mengangguk-angguk, dan mengerti, serta berucap terima kasih. Ia minta maaf karena sikapnya. Bu Kades pamit pulang.

Setelah masa idah selesai, betul saja Sarmi dinikahi Pak Wo. Seperti bapak dengan anak umur dan penampilan mereka. Kontras, tapi mungkin itulah jodoh. Setelah rambut dan kumis maupun janggut digunting rapi, lalu mandi bersih, gagah pula tampak penampilan Pak Wo.

Peresmian mereka dilalui dengan akad-nikah saja. Tanpa resepsi. Warga maklum, sebab masih dalam suasana wabah Covid 19. Tidak boleh ada kerumunan yang berpotensi penularan.

*

Sejak itu Sarmi dipanggil Bu Wo Anom. Tiga anaknya kembali ke sekolah setelah tunggakan pembayaran dilunasi Pak Wo. Sejak itu sedikit demi sedikit hidup Sarmi dan ketiga anaknya berubah.  Sandang-pangan tercukupi. Untuk ukuran orang desa, hidup mereka makmur.

Tapi sebuah kebusukan terendus. Tiga bulan setelah Sarmi dinikahi Pak Wo, seorang warga desa memergoki hal aneh. Ia melihat Pak Wo, Jimun dan Bu Kades berbincang dalam satu meja pada sebuah restoran seafood di kota. Tampak akrab, penuh canda, seperti tidak ada masalah serius diantara mereka. Warga desa itu memperhatikan dari jauh. Menduga-duga, dan seketika berburuk sangka.

Jangan-jangan mereka bersekongkol, ucap batin warga desa itu penuh curiga.  Tapi ia tidak mau berburuk angka. Ia tidak mau terlibat urusan mereka. dan dipendamnya sendiri rahasia itu. *** (Selesai)

Sekemirung, 11 Juli -- 7 Agustus 2020 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun