Ke mana para pedagang daging celeng mendapatkan dagangannya? Pemburu celeng. Sebaliknya ke mana pemburu celeng melempar hasil kerjanya? Pedagang daging celeng. Mereka bekerja sama. Satu pihak demi hobi dan alasan klasik (membasmi hama). Pihak lain demi meraup keuntungan yang besar, meski harus dengan berlaku curang.
Jumlah pemburu celeng banyak. Maka demikian pula pedagang dan pengecer daging celeng, maupun produsen makanan dengan bahan baku daging celeng pun sangat banyak. Baso, dendeng, rendang, dan aneka olah yang menggunakan daging sapi dapat disusupi daging oplosan.Â
Akibatnya daging celeng (dengan atau tanpa pengetahuan konsumen) beredar bebas masuk pasar, dan dikonsumsi oleh pembeli yang tidak tahu serta tidak waspada.
Itulah yang setiap kali terjadi dan diberitakan media. seolah dengan ditangkapnya para pedagang dan pengedar daging sapi palsu persoalan selesai. Tidak. Sebab makanan dengan daging olahan ada yang mampu bertahan lama. Produksi hari ini mungkin beberapa hari sampai beberapa minggu masih dappat diedarkan di pasar.
Tangkapan polisi membuktikan peredaran daging celeng yang disamarkan sebagai daging sapi masih banyak. Seperti tak terlacak. Polisi dan dinas/instansi terkait seolah hanya bertindak setelah ada laporan masyarakat.Â
Miris dan ironisnya, ada pelaku peredaran daging celeng yang hukumannya sangat ringan: hukum adat. Padahal jelas, ia kriminal.
*
Jamirin (65) yang rajin berdagang kena sanksi. Tapi sebenarnya ringan saja. Bukan hukuman badan masuk bui yang diterimanya. Tindak kriminalnya, yaitu terkena pasal terhadap perlindungan konsumen, diganjar tidak boleh berjualan seumur hidup. Berjualan apa? Berjualan daging. Pada setahun terakhir ia menjadi pedagang keliling daging celeng.
Mungkin ia sengaja menyamarkan dagangannya seolah daging sapi. Atau sebaliknya, masyarakat muslim tidak curiga dan tidak waspada bahwa yang dijual itu daging celeng.
Jamirin merupakan warga Desa Pekaja, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah. Pada saat harga daging sapi di pasaran mencapai Rp 140 ribu per kilogram, Jamirin menjual dagingnya Rp 60 ribu saja.
Sekitar setahun  ia berdagang. Dan yang dipasarkan merupakan daging yang haram dikonsumsi oleh umat Islam. Pertanyaan yang timbul: apakah motif ekonomi dapat memperingan hukuman pada dugaan motif lain? Sebab tentu konsumennya (sebagian, atau sebagian besar) umat Islam.