Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Sepeda Onthel dan Kenangan Touring pada Akhir 80-an

27 Juni 2020   14:27 Diperbarui: 27 Juni 2020   14:30 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*

Sepeda Tua, Berko

Pada tahun-tahun itu hanya ada sepeda laki-laki (dengan dalangan) sepeda perempuan, dan sepeda anak-anak (sepeda pendek untuk anak-anak usia SD/SMP dan sepeda roda tiga untuk anak balita). Belum banyak pilihan sepeda seperti saat ini. Oya, tentu kecuali sepeda balap untuk para pembalap, dan mereka yang punya kemampuan ekonomi menengah ke atas.

Masyarakat kebanyakan menggunakan sepeda onthel. Itu berarti tinggi sadel sepeda lumayan tinggi, hanya ada satu model gir. Dengan begitu mau jalan menanjak, menurun, atau datar, gear-nya tidak dapat diubah-ubah.

Karena keterpaksaan pernah saya dan rombongan melaju pada petang/malam hari. Padahal sepeda tidak menggunakan lampu berko. Itu sebabnya saya berbekal senter batu baterai.

*

Tanpa Rem, Meringis

Modal nekat, itu salah satu ciri khas anak muda. Sampai sekarang pun mungkin hal demikian tidak berubah. Bersepeda jarak jauh itu mestinya membawa perlengkapan memadai: pompa, alat tambal ban, alat-alat seperlunya kalau ada kerusakan di jalan. Tapi tidak.

Nah, itulah yang terjadi. Ketika bersepeda melalui Sarangan -- Tawangmangu kondisi medan berat. Tanjakan dan turunan tajam. Pada tanjakan terakhir sebelum naik ke Sarangan, saya menyerah, dan membonceng angkutan umum. Sepeda diikat di belakang mobil minibus, saya duduk sebagaipenumpang. Tiga teman lain memilih berjalan kaki menuntut sepeda mereka.

Keesokan harinya mendaki lagi menuju Cemoro Sewu dengan susah-payah. Lalu turunnya rem blong, alias tidak lagi ada rem. Satu waktu ketika menurun agak laindai saya naik ke sadel. Tetapi tiba-tiba (melalui sebuah tikungan) ada turunan sangat tajam. Panik. Apa akal?  Saya tabrakkan sepeda saya ke tanah agak mendaki agar sepeda tidak melaju turun tak terkendali. Beruntung pelek sepeda tidak berubah menjadi angka delapan.

Perjalanan masih dapat diteruskan. Nah, tapi harus ada akan supaya sepeda tetap menggunakan rem. Apa boleh buat, saya naik sepeda tidak lagi nangkring di sadel tetapi cukup telapak kaki kiri menginjak pedal kiri dan kaki kanan (bersepada) sebagai rem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun