Meski tak seramai biasanya, pasar tradisional kawasan Kulon, tak jauh dari Pesisir Kidul itu mulai ramai pengunjung. Pedagang lega, setelah sekian lama sepi kini suasana pasar kembali hidup. Yu Saripah pun kembali ke pasar. Kembali pada profesi lama: buruh gendong.
Kali ini di tengah jejalan orang-orang di pasar Mujilah memperhatikan seorang bapak yang tampak banyak uang dan suka belanja. Â Mungkin ia akan memborong busana batik terbaik menuruti seleranya.Â
Beberapa kios disambanginya. Ia memilih dan terus memilih. Pindah ke kios lain. Begitu seterusnya. Tak bosan, dan tak capek. Semua agus-bagus motif maupun pewarnaannya, ada produksi Solo, yang lain Pekalongan dan Yogya.
"Bilang saja mau model dan warna apa, Pak. Jangan dibongkar semua. Maaf. Capek saya nanti mengaturnya lagi. . . . . !" ujar si gadis pelayan dengan senyum dipaksakan sekali.
"Pembeli 'kan raja, Neng. Jadi jangan dilarang-larang. Yang penting saya beli, titik. . . Â !"
Si gadis pelayan mengacungi jempol. Tapi sambil bersungut-sungut lirih. Dan meneruskan bicara: "Diborong ya, Pak?"
Mujilah berdiri dekat dengan si bapak. Maka spontan pula ia berkomentar: Â "Awas dompetnya, Pak. Banyak copet di pasar ini. Sudah terlanjur memilih banyak ternyata dompet hilang. Kapiran.. . . .!"
"Ohh, terima kasih diingatkan. Kamu baik sekali, Mbak. . . . . !" ujar Pak Tua ramah.
Lelaki itu 60-an tahun, berjenggot tipis, pakai kacamata minus, dan mengenakan topi laken coklat. Mirip blantik sapi. Terlihat dompet tebal di saku celananya, menandakan isinya berjubel. Pasti mengundang si tangan jahil untuk mengambil, kata hati Mujilah was-was.
"Mujilah, Pak. Nama saya Mujilah. . . . . !"
"Oke. Bagus namamu. Memujilah, jangan menghujat, apalagi mencaci. Memuji Allah siang malam yang paling baik .. . . . !" dan lelaki itu mengambil dompet tebal di saku belakang celananya. Lalu mencabut selembar uang dua puluh ribuan. "Nah, ini rezeki untuk kamu, Mbak Muji. . .!"
Yu Saripah yang lebih dahulu mengulurkan tangan. Dan menyambut lembaran hijau itu. "Alhamdulillah. . .!" ucap Yu Saripah seraya tertawa mendapati rezeki tak terduga.
Dua perempuan buruh gendong itu serentak menanggukupkan kedua telapak tangan, dan mengangguk. Berucap terima kasih dengan penuh rasa sukur. Terasa seketika bagi keduanya, perut minta diisi.
Tanpa berkompromi keduanya melaju ke los makanan, di ujung belakang pasar. Kompak, sama-sama lapar. Uang pertama dari mana pun datangnya harus disetor ke tukang soto ayam. Ya, demi dua mangkok nasi soto.
*
Wabah virus Corona belum reda. Orang-orang jenuh di rumah, tak tahan. Bosan, hampir kehilangan semangat. Mereka coba mencari hiburan ke luar rumah. Ke los kuliner di pasar menjadi salah satu pilihan.
Beda dengan Saripah dan Mujilah. Keduanya tak punya pilihan lain kecuali tetap ke pasar. Tidak makan mereka kalau tidak mampu menjual tenaga di sana. Pagi itu keduanya memilih duduk di pojok. Lalu memberi isyarat dengan jemari diacungkan ke udara.
Mas Bagiyo hafal betul aneka sikap pelanggannya. Juga dua orang mirip ibu-anak buruh gendong itu. Begitu keduanya duduk segera tersaji teh pahit panas dua gelas.
"Tumben. Sarapan, ya?" gumam Mas Bagiyo di tengah kesibukannya.
"Rezeki tak tentu datangnya. Kadang pagi-pagi sudah nongol.. . . . !" sahut Yu Saripah.
"Tanpa sarapan pun kami sudah terbiasa. . . . . .," ujar Mujilah menyela.
Mas Bagiyo tertawa  saja. Dua mangkok nasi soto disodorkan. Penjual soto itu sempat berbisik di telinga Mujilah. "Sudah punya pacar belum?"
"Banyak. Tapi kalau calon suami, belum. Ada calon untukku, Mas?" bisik Mujilah.
"Kalau duda itu bagianku. . . .!" serobot Yu Saripah
Dua perempuan itu sibuk dengan soto masing-masing. Tambah sambel, juga kecap. Lalu minta tambah nasi, juga kuah. Sampai megap-meap keduanya oleh panas kuah, pedas sambal, dan kekenyangan. Mas Bagiyo memaklumi saja.
Tak lama kemudian seorang laki-laki datang ke kios soto itu. Dan akrab betul Mas Bagiyo menyambutnya. Seperti dengan kawan lama, saling peluk agak lama. Lalu ngobrol. Tapi si tamu seperti kurang menanggapi. Dingin, dan seperti sulit bicara.
Yu Saripah dan Mujilah terlalu sibuk dengan mangkok soto mereka. Tak sempat menoleh atau memperhatikan adegan itu. Sampai kemudian Mas Bagiyo menjawil Yu Saripah, dan berbisik: "Nah, ini jodoh yang kutawarkan tadi. . . . .!"
Serempak Yu Saripah dan Mujilah menoleh. Dan. . . . . oalah, kok harus ketemu lagi. Lelaki berjenggot tipis, pakai kacamata, dan bertopi laken itu coba tersenyum. Tapi kecut betul. Wajah pucat dan keringat dingin bercucuran.
"Apa yang terjadi, Paklik? Kok pucat begitu? Sakit?" tanya Mas Bagiyo seraya mempersilakan tamunya duduk di bangku kayu. "Belum sempat sarapan atau apa. . ?"
Agak lama terdiam. Lalu suara lirih diucapkan di telinga Mas Bagiyo. "Dompet disamber copet. Hasil penjualan lima ekor sapi amblas. . .!"Â
Mas Bagiyo terpana. Begitu pula dengan Yu Saripah dan Mujilah. Keduanya berharap ada jodoh, tapi bukan yang boros dan kurang hati-hati. ***
Cibaduyut, 23 Juni 2020 / 1 Zulkaidah 1441
Baca juga tulisan menarik sebelumnya:
cerpen-tahukah-tuan-ke-arah-mana-jalan-pulang
ketika-kejujuran-polisi-jadi-bahan-lelucon
melisik-dalih-aulia-kesuma-memilih-jadi-pembunuh
untuk-viral-di-media-perlu-uang-rp-2-juta-saja
urat-leher-tersayat-benang-layang-layang-nyawa-pun-melayang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H