Yu Saripah yang lebih dahulu mengulurkan tangan. Dan menyambut lembaran hijau itu. "Alhamdulillah. . .!" ucap Yu Saripah seraya tertawa mendapati rezeki tak terduga.
Dua perempuan buruh gendong itu serentak menanggukupkan kedua telapak tangan, dan mengangguk. Berucap terima kasih dengan penuh rasa sukur. Terasa seketika bagi keduanya, perut minta diisi.
Tanpa berkompromi keduanya melaju ke los makanan, di ujung belakang pasar. Kompak, sama-sama lapar. Uang pertama dari mana pun datangnya harus disetor ke tukang soto ayam. Ya, demi dua mangkok nasi soto.
*
Wabah virus Corona belum reda. Orang-orang jenuh di rumah, tak tahan. Bosan, hampir kehilangan semangat. Mereka coba mencari hiburan ke luar rumah. Ke los kuliner di pasar menjadi salah satu pilihan.
Beda dengan Saripah dan Mujilah. Keduanya tak punya pilihan lain kecuali tetap ke pasar. Tidak makan mereka kalau tidak mampu menjual tenaga di sana. Pagi itu keduanya memilih duduk di pojok. Lalu memberi isyarat dengan jemari diacungkan ke udara.
Mas Bagiyo hafal betul aneka sikap pelanggannya. Juga dua orang mirip ibu-anak buruh gendong itu. Begitu keduanya duduk segera tersaji teh pahit panas dua gelas.
"Tumben. Sarapan, ya?" gumam Mas Bagiyo di tengah kesibukannya.
"Rezeki tak tentu datangnya. Kadang pagi-pagi sudah nongol.. . . . !" sahut Yu Saripah.
"Tanpa sarapan pun kami sudah terbiasa. . . . . .," ujar Mujilah menyela.
Mas Bagiyo tertawa  saja. Dua mangkok nasi soto disodorkan. Penjual soto itu sempat berbisik di telinga Mujilah. "Sudah punya pacar belum?"