Kadirun itu seperti manusia lain, suka bicara, dan banyak lagak. Jadi apa saja dikomentari, dibahas, dan dijadikan bahan bergunjing. Terlebih yang dirasa agak dan setengah penting, disampaikan dengan lagak seorang orator demo militan. Tak heran begitu ia memulai orasinya orang-orang di sekitar akan bergumam: "Kadirun pun angkat bicara. . . . hahaha!"
Ditambahi dengan suara tawa terkekeh-kekeh bersebab Kadirun kalau ngomong kurang lancar, dan nggak nyambung. Ya, suaranya terputus-putus, kadang gagap, kadang kehilangan kata untuk meneruskan. Logikanya pun. Sebab dan akibatnya tidak terkait, tak jarang justru bertolak belakang. Maka begitulah, Kadirun sering dipersamakan dengan tokoh kurang waras dari Yogya Toni Blank yang diwawancarai seorang youtuber semata untuk memperlihatkan gaya ngomong yang aneh, sebagai hiburan. Ia dijadikan contoh buruk  tentang asal ngomong alias "waton njeplak".
"Apakah hari ini Kadirun sudah angkat bicara, Mbak?" tanya Mak Fatmah kepada mbak Murwo dengan penuh antusias.
Pedagang lotek itu sedang sibuk mempersiapkan dagangan. Jadi agak kaget mendapat pertanyaan yang tidak terkait dengan lotek atau aneka makanan-minuman yang dijualnya.
"Angkat bicara? Kadirun, Mak?" tanya balik Mbak Murwo terkaget-kaget.
"Ya ya. . . ., Kadirun warga baru yang sok filsuf kayak si Cocky yang sering muncul di tv itu. Biasanya pagi-pagi ia sudah ngopi dan berceramah di sini. . . .!"
"Belum, belum muncul. Kuperhatikan ia sering mengintip dulu dari kejauhan sebelum datang ke sini. Ia datang kalau sudah cukup banyak orang untuk mendengarkan khotbah politiknya. . . . hahaha. Diibaratkan di dunia medsos, Kadirun langsung ngetop dan viral," ucap Mbak Murwo seraya menyiapkan penggorengan besar, menuang minyak kelapa, dan menyalakan kompor. Aneka adonan bakwan dan pisang maupun tahu isi sudah dibuatnya begitu selesai salat subuh berjamaah di masjid Al Ikhlas. Sekarang tinggal menggoreng, sambil melayani pembeli. Pembeli paling suka gorengan panas-panas.
Mak Fatmah melihat kesibukan itu sambil sesekali melihat ke ujung jalan. Ia sedang menunggu tukang tahu keliling.
"Ngomong-ngomong, apa Mak Fatmah juga menunggu kemunculan komika baru bernama Kadirun?" tanya Mbak Murwo bernada setengah mengejek.
"Hahaha. . . ., nunggu Kadirun? Mbak Murwo mungkin? Mak nunggu tukang sayur keliling. Mau masak brongkos, goreng tempe-tahu dan kerupuk udang, serta sambel terasi. Bosan tiap hari makan loteknya Mbak Murwo. . . . . hehehe," balas Mak Fatmah ganti mengejek.
Mbak Murwo tersenyum, dan mengedip-ngedipkan mata. Pembeli berdatangan, ada yang sarapan ditempat dan ada pula yang membawa sebagai bekal ke tempat pekerjaan. Selebihnya orang-orang nongkrong di warung mbak Murwo, atau duduk di pos ronda seperti kebiasaan Wak Jafar dan Pak Murbani yang janjian main catur sampai siang.
*
Ihwal apa kiranya hingga Kadirun diembel-embeli sebutan "angkat bicara". Lihat saja obrolan dan gunjingan mengenai hal-hal mutakhir yang nyangkut di kepalanya. Semua yang diangkat sebagai pembicaraan itu terjadi kala Kadirun dengan gagah dan wangi menyambangi warung Mbak Murwo. Tentu itu setelah menonton berita di televisi, membaca viral di medsos, dan sesekali setelah membaca koran lokal.
Suatu hari seorang perempuan pegawai toko memancing Kadirun. "Apa tanggapanmu, Kang, soal demo mahasiswa yang menentang sejumlah undang-undang?"
"Bagus. Sangat bagus. Mereka sedang praktek lapangan. Mungkin mereka terpengaruh viral kisah serem KKN di Desa Penari. Jadi anggaplah demo sebagai kegiatan KKN. Bukan di desa Penari, melainkan di kota Penyanyi. . . . !"
"Siapa yang menyanyi? Mahluk halus di kotakah?"
"Bukan. Kukira, para politikus itu. Mereka siang malam menyanyi, berteriak-teriak sumbang, berdeklamasi, dan juga berorasi untuk menyalahkan apa saja, kecuali diri mereka sendiri. Tujuan pokoknya bikin gempar, bikin gegar. Semakin kencang teriakan maka mereka kira orang-orang akan menganggap si pemilik suara seperkasa Tarzan di rimba raya. . . . !"
Di warung lotek Mak Murwo giliran Mas Bejo berkomentar mengenai kata "setingan". Di situ ada Kadirun yang tak pernah melewatkan satu kesempatan pun untuk menanggapi isu kekinian.
"Dulu hanya para artis yang kerap dicap setingan. Sekarang bahkan public figure jadi sasaran.. . . . .!"
"Setingan apa, Mas Bejo? Kok kayaknya gawat amat. . . Â . !" sambut Mbak Murwo ketika sedang asyik dengan cobek dan sayur-mayur dan bumbu-bumbu untuk membuat lotek dengan tingkat kepedasan level 10. Itu tentu pesanan khusus untuk Kadirun Pun Angkat Bicara.
"Ya itulah. Bukan soal artis nikah kawin-cerai, atau selebritis terkena narkoba, dan bintang sinetron ribut urusan arisan -- utang piutang dan pamer kekayaan. Nggak ada lain. Padahal ada juga yang setingan. . . . . !" ucap Mas Bejo diakhiri dengan menyeruput es cendolnya. "Tapi belakangan soal tusukan di perut pejabat kok dibilang setingan. Aneh.. . . . Â !"
"Benci boleh, tapi jangan menfitnah ya?" tambah Mbak Murwo sambil membawa sepiring lotek untuk Mas Bejo.
Kadirun tertawa mendengar tanya-jawab Mas Bejo dengan Mbak Murwo. Ia pun angkat bicara. "Menurutku di negeri demokrasi ini apapun boleh diucapkan orang, dan sah-sah saja. Undang-undang melindungi orang bicara. Bebas, dan merdeka. Soal setingan atau tidak, itu soal nanti. Kalau memang tidak terbukti setingan ya sudah, ngapain harus pusing?"
Mas Bejo terkekeh. Mengangguk-angguk, lalu menanggapi. "Logikamu persis lawakan Srimulat, Bro. lucu kalau dipanggung. Tapi tidak dalam kehidupan nyata menyakiti . . . !"
"Menyakiti?" tanya Kadirun.
"Kalau menuruti logikmu begitu boleh dong gentian aorang ngomong sembarang. Kelak bila Bang Kadirun hangus disambar geledek atau remuk ketabrak truk, lantas kutanggapi di medsos sebagai setingan. Bagaimana kira-kira perasaan keluargamu?" desak Mas Bejo dengan wajah menyeringai.
Kadirun bungkam. Dan seterusnya ia bungkam, sebab sepulang dari warung Mbak Murwo ia digelandang sejumlah debt collector. Sepeda motor yang digunakan untuk urusan politik selama ini lupa dibayar angsurannya. Belakangan karena terbelit biaya hidup, motor itu pun digadaikan. Nah, sekarang pusing ia menghadapi kenyataan yang terjadi.
Sejak itu Kadirun Pun Angkat Bicara tak pernah muncul. Entah di kampung lain, atau di kota lain. Kabarnya ia sempat mengontak Polisi, dan sejumlah orang yang berusaha menyanderanya lari kocar-kacir. Kadirun menanng untuk sementara, tapi batinnya was-was. Sejak itu ia tidak lagi memikirkan tugas untuk angkat bicara, ia memilih buru-buru angkat kaki. Tanpa pamit pada siapapun. ***
Sekemirung, 10 Okt 2019 - 28 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H