Kadirun tertawa mendengar tanya-jawab Mas Bejo dengan Mbak Murwo. Ia pun angkat bicara. "Menurutku di negeri demokrasi ini apapun boleh diucapkan orang, dan sah-sah saja. Undang-undang melindungi orang bicara. Bebas, dan merdeka. Soal setingan atau tidak, itu soal nanti. Kalau memang tidak terbukti setingan ya sudah, ngapain harus pusing?"
Mas Bejo terkekeh. Mengangguk-angguk, lalu menanggapi. "Logikamu persis lawakan Srimulat, Bro. lucu kalau dipanggung. Tapi tidak dalam kehidupan nyata menyakiti . . . !"
"Menyakiti?" tanya Kadirun.
"Kalau menuruti logikmu begitu boleh dong gentian aorang ngomong sembarang. Kelak bila Bang Kadirun hangus disambar geledek atau remuk ketabrak truk, lantas kutanggapi di medsos sebagai setingan. Bagaimana kira-kira perasaan keluargamu?" desak Mas Bejo dengan wajah menyeringai.
Kadirun bungkam. Dan seterusnya ia bungkam, sebab sepulang dari warung Mbak Murwo ia digelandang sejumlah debt collector. Sepeda motor yang digunakan untuk urusan politik selama ini lupa dibayar angsurannya. Belakangan karena terbelit biaya hidup, motor itu pun digadaikan. Nah, sekarang pusing ia menghadapi kenyataan yang terjadi.
Sejak itu Kadirun Pun Angkat Bicara tak pernah muncul. Entah di kampung lain, atau di kota lain. Kabarnya ia sempat mengontak Polisi, dan sejumlah orang yang berusaha menyanderanya lari kocar-kacir. Kadirun menanng untuk sementara, tapi batinnya was-was. Sejak itu ia tidak lagi memikirkan tugas untuk angkat bicara, ia memilih buru-buru angkat kaki. Tanpa pamit pada siapapun. ***
Sekemirung, 10 Okt 2019 - 28 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H