Pandemi Covid-19 memberi keempatan pada Bang Brengos untuk menjadi iman tetap di rumah. Salat wajib lima waktu, juga saat salat tarawih. Itu ujian tidak ringan lantaran dirinya bukan keluaran pondok pesantren, bukan pula bersekolah di sekolah agama. Pengetahuan tentang agama hanya dari pelajaran sekolah beberapa jam saja dalam seminggu.
Namun, demikianlah memang "wolak-waliking zaman (Jw - perputaran roda zaman)". Selama ini ia rajin ke masjid semata sebagai makmum. Sesekali saja sebagai iman bila tidak ada lagi pengurus masjid maupun marbot --karena urusan mereka di luar masjid- yang datang.
Rasa was-was memang menggelayuti perasan Bang Brengos. Hari-hari jelang Ramadan ia sudah sibuk mencari-cari informasi mengenai masjid di sekitar kompleks perumahan yang masih menyelenggarakan salat tarawih. Tapi hasilnya nihil.
Jelang siang Bang Brengos duduk di teras dan membaca kliping koran-koran lawas. Mak Jumilah isterinya menghampiri setelah selesai menjemur pakaian. Waktunya seminggu sebelum Ramadan.
"Bagianmu nanti jadi iman, Bang.. . . . . !" ucap Mak Jumilah.
"Hafalanku sedikit, Mak," kilah Bang Brengos, malu juga sebenarnya berterus-terang begitu. "Ya, tapi 'kan tidak mungkin perempuan menjadi imam dengan jamaah lelaki!"
"Sudah,jangan galau. Kalau lupa bacaan nanti Mak bisiki dari belakang. Yang penting pede saja dulu, percaya diri."
"Begitu ya? Imam dibisiki makmum? Lucu. . ."
"Nggak ada yang lucu. Serius. Meski bukan ustaz, setiap lelaki harus belajar jadi imam. Termasuk untuk imam salat tarawih 23 rakaat. . . . . !"
"Banyak sekali?"
"Ya, untuk menguji hafalan imam dadakan. . . . Â !" jawab Mak Jumilah seraya tertawa lepas.