Tidak banyak penyanyi yang membesarkan nama kota kelahiran maupun asal-usul mereka. Tempat dari mana seseorang penyanyi/pemusik berkarya hingga akhir hanyat. Dari yang sedikit itu Didi Kempot salah satunya. Menyebut Didi Kempot berarti menunjuk Kota Solo.Â
Nama-nama penyanyi lain di tanah air yang terkenal bersama domisili mereka, antara lain Leo Kristi - Gombloh (Surabaya), Gesang - Waldjinah (Solo), Nike Ardila -- Tetty Kadi (Bandung), Â Benyamin Sueb - Lilis Suryani (Jakarta), dan banyak lagi.
Produktivitas berkarya, popularitas, dan kemampuan mengumpulkan jumlah fans menjadi alasan yang saling terkait sebagai syarat seorang penyanyi mampu bertahan, bahkan makin melegenda seiring bertambahnya umur.
Beberapa penyanyi bahkan menggunakan asal-usul mereka sebagai nama panggung, diantaranya John Denver, Evi Tamala (Tasikmalaya), Evi Masamba, dan sebagainya.
Solo (seperti pengucapan kata 'Marcopolo'), Sala (seperti baca kata 'Cidro'), atau Surakarta (bisa dibaca dengan 2 ejaan, seperti pada kata 'Cidro' atau kata apa/mengapa/bagaimana). Entah mana pilihan yang lebih banyak dan enak disebut, diucap, atau diingat.
Lagu Stasiun Balapan dan Terminal Tirtonadi merupakan dua judul yang fenomenal melambungkan nama Solo (meski tidak disebutkan dalam lirik lagu tersebut). Solo sebagai nama kota di Provinsi Jawa Tengah, bukan sebutan untuk penyanyi tunggal.
Namun, kota-kota lain disebut Didi Kempot: Semarang, Surabaya, Ngawi, Pacitan, Wonosari, Nickerei, Â dan banyak lagi. Â
Tiga tujuan disebutnya nama-nama tempat, Pertama, untuk mendekatkan diri dengan fans maupun penggemar lagu-lagunya di tempat itu. Kedua, untuk menandai perjalanan pentasnya dari panggung ke panggung pada banyak kota di dalam negeri maupun luar negeri. Ketiga, untuk menandai tema berbeda (maski masih satu nafas: luka hati) pada lagu-lagu yang diciptakannya.
*
Didi Kempot telah menghasilkan 50 sampai 60 album, dan 700 Â sampai 800 judul lagu. Cita-citanya hendak menggenapinya menjadi 1000 judul lagu. Namun, keinginan itu tak tercapai, pupus. Umur lebih dahulu mendaulatnya untuk beristirahat.
Sulit membayangkan sebanyak itu lirik harus dihafal, dengan tema yang tidak jauh-jauh berbeda. Beruntung sering Sobat Ambyar justru yang lebih hafal pada lagu-lagu yang jarang dibawakannya di atas panggung. Maka mike diarahkan saja ke penonton.
Cara berkomunkaksi seperti itu menyimpan beberapa keuntungan: pertama, berisitirahat untuk mengatur nafas; kedua, memberi kesempatan penonton untuk lebih keras dan lebih kompak menyanyi dan menghayati isi lirik yang mereka dendangkan. Â
Cara lain yang -belum banyak, atau bahkan tidak ada- penyanyi lain yang membiasakannya, yaitu mengawali menyanyikan setiap lagu dengan mengajak penonton melafalkan refrain tanpa musik. Kebiasaan dan kemudahan orang menghafal sebuah lagu tentu pada refrainnya. Dan itu mengapa keikutsertaan penonton untuk menyanyi dapat dipancing dari sana.
Dan itu sebabnya penonton yang memadati satu lapangan sepakbola dan tribun sekeliling (kebiasaan Didi Kempot memilih atau dipilihkan lokasi dalam pentas pada berbagai daerah) tak segan bernyanyi dan berjoget serempak, kompak, dan penuh ekspresi tanpa malu-malu.
*
Suriname menjadi salah satu tempat berkembangkan bahasa dan lagu-lagu Jawa. Tidak mengherankan hal itu terjadi. Sebab di sana banyak komunitas Jawa masih bertahan dengan seni-budaya dan tradisi, termasuk dalam berbahasa, yaitu Jawa.
Didi Kempot popular di sana, meneruskan popularitas pendahulunya, yaitu Waljinah. Banyak cerita Jawa khususnya (dan Indonesia umumnya) dibawa Didi Kempot ke sana. Sebaliknya ia pun membawa berbagai cerita dari sana. Termasuk cerita tentang perkembangan dan perubahan orang-orang Jawa di sana.
Suriname menonjol dalam konteks karier Didi Kempot, padahal ada 5 negara lain (di luar Indonesia) yang juga dihuni oleh komunitas Jawa di sana. Sebut saja Singapura, Malaysia, Kaledonia Baru (negara kepulauan jajahan Perancis di Lautan Pasifik), Â Kepulauan Coccos, dan Belanda.
Kemungkinan komunitas Jawa di Suriname (bekas jajahan Belanda) lebih besar jumlahnya. Tercatat 10 kali Didi Kempot mengadakan konser di Suriname dan 2 kali di Balanda. Bahkan sebelum menasional di tanah air, namanya lebih dahulu berkibar di Suriname dan Belanda.
Didi Kempot pernah meraih gelar penyanyi terpopuler. "the most popular singer in Suriname" pada 2013. Di sana ia bernyanyi lagu-lagu selain dalam Bahasa Jawa, juga dalam bahasa nasional Suriname yaitu .Bahasa Belanda.
Kabar Didi Kempot meninggal dunia juga diberitakan media asing, mulai dari mediwww.thejakartapost.coma internasional di Inggris hingga media lokal di Suriname.
*
Banyak Ditulis dan diulas orang tentang Didi Kempot, dan semua bernuansa baik. Sisi buruknya sudah menjadi masa lalu. Seiring berambahnya usia Lord Didi telah berubah menjadi orang yang pantas menjadi panutan.
Bukan hanya dalam segi kesenimanannya tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari (kerja keras, kedermawanan, peduli lingkungan, dan kedekatan dengan berbagai lapisan masyarakat).
Mudah-mudahan jejak kebaikannya ditiru para penyanyi dan pemusik, maupun seniman lain pada umumnya. Doa terbaik untuk Didi Kempot. ***
Sekemirung, 7 Mei 2020 / Hari ke 14 Ramadan 1441 H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H