Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dal dan Barko, dan Candaan di Antara Mereka

6 Mei 2020   23:40 Diperbarui: 6 Mei 2020   23:48 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kehamilan(SHUTTERSTOCK) - www.kompas.com

Tertawa dan mentertawakan itu pekerjaan paling gampang, ringan, dan bermanfaat untuk menjaga kesehatan. Untuk tertawa pun syaratnya tak banyak. Cukup kalau masih punya syaraf geli, ditambah sedikit catatan pada rongga mulut yaitu masih ada gigi (bukan bersisa gusi semua), dan asap yang keluar darinya tidak berdampak polusi.

Maka tertawalah, mumpung tidak dilarang, dan terlebih mumpung tertawa bukan dosa. Sebab entah suatu masa, entah suatu era pemerintahan pada masa lalu, siapa yang terawa-tawa dicurigai dan dicemburui.

Dicurigai kemungkinan bersekongkol hendak berbuat makar, tapi bisa juga dicemburui sebab jangan-jangan si tukang tertawa itu telah berselingkuh dengan entah siapa, dan sukses tidak pernah dipergoki orang lain.

"Jangan tertawa terus, Dal. Bogem mentah melayang nanti, awas. . .. . !" seru Barko dengan nada mengancam. Ia sedang menanak nasi.

"Tertawa apa? Ini bibir memang sudah dari sononya sulit ditutup. Harusnya pakai ritsleting agar gigi dapat rapi disembunyikan. . . . . !" jawab Dal dengan nada tinggi. Dari tadi kerjanya mengiris aneka bahan sayuran.

"Ohh, maaf. Kukira tertawa," Barko menoleh ganti tersenyum.

Keduanya sedang bekerja di dapur umum wilayah. Sebentara lagi maghrib. Takjil dan makan malam harus segera disiapkan. Buka dengan takjil, tapi setelah salat maghrib banyak yang langsung makan nasi. Maka kesiapan harus dipercepat.

"Tapi ngomong-ngomong, kenapa rupanya aku tidak boleh tertawa?" ucap Dal ganti bertanya.

Orang-orang di dapur umur itu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. hanya Dal dan Barko yang selalu bercakap. Orang-orang lain fokus pada pekerjaan. Serius dan kaku. Maklumlah mereka pekerja bayaran. Jadi harus serius, sebab terlihat malas dan banyak tertawa bakalan tidak dipakai lagi.

"Jangan sampai orang mengira kamu tidak berpuasa. Sebab terlalu bergembira. Tahu kamu? Nah, jangan tertawa ya?" sambung Barko. Lalu ia sendiri tertawa-tawa saja. meninggalkan tempat itu. "Rampung pekerjaanku. Selesai. Aku boleh tertawa. Sedang kamu, Dal, masih harus bekerja menyelesaikan pekerjaan.

*

Jadi sekali lagi, tertawa itu syaratnya ringan. Tidak berbelit-belit, dan sekali lagi 'manfaatnya besar'. Namun, tentu tidak mudah. Terlebih pada masa pendemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir ini.

Orang yang gampang tertawa pada masa kini bisa saja mereka yang kemungkinan punya gangguan kesehatan. Jangan-jangan malah gangguan yang lebih serius: kewarasan.

Contohnya si Dal. Sudah dibilang jangan tertawa,masih juga tertawa ia. Apapun ditertawakannya. Ada yang menggoreng tahu-tempe lupa mengangkat karena main ponsel, maka Dal terbahak sekerasnya.

Ada yang lupa mencopot kerupuk dan langsung mengunyahnya demikian demonstratif. Lupa sedang berpuasa. Tak urung Dal pun tertawa mati-matian. 

Ketika istirahat sambil memunggu azan magrib makin meledaklah tawa si Dal. Apa pula bahan tertawaan Dal kalau bukan dari cerita barko si pemancing tawa.

"Kamu tahu nggak sisi lucu pandemic Covid-19?"

"Tidak ada lucu-lucunya. Orang tidak sempat melucu, dan bahkan tidak sempat berpikir hal-hal lucu. Semua cenderung serius, tertekan, tanpa senyum. Dan ketakutan. Takut tertular lalu mati, takut menderita rugi banyak karena ekonomi macet, takut kehilangan harta, dan banyak lagi!"

"Nah, ini berita media online. Dikhawatirkan dampak gerakan #stayathome maka tingkat kelahiran diseluruh dunia terjadi penambahan 7 juta kehamilan tak terduga.

Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga pun meninkat pesat. . . . .!"

"Lucu itu?"

"Sangat lucu. Orang lain takut positif tertular virus, orang-oang ini justru sengaja bikin positif isteri mereka masing-masing. . . ..!"

"Hamil?"

Dal tertawa meledak-ledak, terguling-guling, dan tanpa sadar masuk ke dalam selokan di sisi tenda dapur umum. Giliran orang lain yang tertawa tak henti-henti. Dal meringis, dan kembali tertawa.

*

Keesokan harinya Barko kembali memancing Dal untuk tertawa. Maka ia pun mulai bercerita.

"Ada tiga remaja biikin lelucon sadis. . ."

"Ada, ya, lelucon sadis?"

"Ada. yang mereka lucu mereka sendiri. Yang bikin ulah itu. Sementara orang lain geram. . ."

"Cerita apa itu?"

"TIga pemuda usil yang bikin paket sembako tetapi diisi sampah dan batu.

Korban mereka pun lapor ke Polisi. Mereka tidak suka di-prank seperti itu. Terlebih mereka adalah waria alias wanita tapi pria. Bisa dibayangkan betapa hebohnya memreka. . . . . !"

Sampai di situ Dal tak mampu menahan rasa tertawanya. Ia berputar-putar menirukan lagak para waria berebut paket sembako. Lalu berpantomim memperlihatkan rasa kecewa dan marah setelah membuka paket sembako itu.

*

Hari berikutnya Dal dan Barko dirumahkan, alias tidak dipakai lagi sebagai tenaga dapur umum. Keduanya dianggap terawa banyak bercanda. Akibatnya pekerjaan berantakan. Orang lain terganggu dengan ulah mereka.

"Kalian boleh tertaa banyak-banyak. Tetapi di rumah saja. Tenaga kalian tidak diperlukan lagi di sini. Mohon maaf. . . .  !" kata Ibu Ketua Dapur Umum dengan suara sangat santun dan halus. Logat Jawa menyertai ucapan dan pilihan kata si ibu.

Tak urung Dal dan Barko pun tertawa. Dan kali ini pelan aja. Ada juga rasa kecewa. Sebab kesempatan makan kenyang seara gratis mulai besok distop. Itu berarti mereka harus mencari pekerjaan lain supaya bisa makan.

Untuk urusan itu kedua bujangan yang kenyang ditolak para calon mertua itu tak mampu tertawa lagi. Wajah keduanya tampak murung. Keduanya berjalan menjauh dari dapur umum dengan menunduk. Seampai di balik tikungan jauh di sana, baru keduanya tertawa-terbahak-bahak.

"Kamu berapa?" tanya Barko.

"Lima butir. . . .!"

Sebaliknya Barko memperlihatkan dari saku celananya 7 butir telur rebus.

"Lumayan untuk berbuka nanti sore. . . . !"

Dal dan Barko kembali tertawa. Keduanya membayangkan Ibu dapur umum yang lemah-lembut itu bakal kelabakan karena telur yang sudah dihitung berulang-ulang hilang 12 butir. Itu berarti ia harus menombokinya agar jumlah nasi bungkus yang tersedia untuk berbuka puasa tidak berkurang dari yang seharusnya. ***

Sekemirung, 6 Mei 2020

*

Sekadar tambahan keterangan: Dal dan Barko  merupakan dua residivis yang baru dikeluarkan dari penjara. Keduanya sudah menjalani dua pertiga masa tahanan mereka. Pak Lurah coba memberdayakan keduanya di dapur umum. Tetapi itulah yang terjadi. Mereka banyak bercanda. Dan selebihnya, menyikat apa saja yang lepas dari perhatian, dan tidak diawasi pemiliknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun