Selagi sempat jangan pelit kita mengucap terima kasih kepada siapapun yang telah membantu kita. Kepada siapapun yang membuat kehidupan kita lebih mudah. Namun, ada sekelompok orang yang mungkin kita tidak sempat mengucapkan rasa terima kasih kita. Siapa mereka? Para penggali kubur kuburan kita.
Bukan tidak mau berterima kasih. Tetapi sudah tidak bisa, tidak sampai. Tentu saat itu kita sudah sibuk dengan urusan kita sendiri. Urusan di dalam alam kubur.
Maka selagi ada umur sempatkan berterima kasih kepada mereka, terlebih saat mereka sedang bekerja kerass membongkar tanah, menggali kuburan orang lain. Yang paling mudah dan murah ya sekadar ucapan. Namun, bagus ditambahi bentuk lain yang lebih berarti bagi mereka. Bukan besar-kecilnya, tetapi ketulusan yang kita tunjukkan.Â
Seperti juga penggali sumur, buruh bangunan, dan kuli panggul; untuk menjadi penggali kubur perlu tenaga besar. Terlebih di tanah tandus, berbatu-batu, serta di bukit-bukit kapur. Tenaga manusia masih sangat diperlukan sebab galian kubur selalu berdekatan, bahkan mepet, dengan kubur lain. Diperlukan keterampilan tersendiri untuk menghindar dari liang lahat jenazah lain. Â Â
Pada masa pandemic Covid-19 saat ini para penggali kubur harus kerja ekstra keras. Terlebih di pekuburan umum di kota-kota besar dan zona merah. Mereka yang selama ini kurang mendapatkan perhatian tiba-tiba menjadi topik pembicaraan media.
*
Sebuah media Singapura khusus menyoroti mengenai keseharian seorang penggali kubur. Â
Kisah Minar (54), seorang penggali kubur di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur diangkat oleh sebuah media Singapura.
Minar bertutur, sepanjang 33 tahun pengalamannya sebagai penggali kubur ia tidak pernah sesibuk ini. Ia hampir tidak ada waktu untuk beristirahat.
Dia mengaku kondisi sekarang sangat melelahkannya. Setiap harinya, dia harus menggali lubang makam dengan sekopnya, karena jenazah terus berdatangan.
"Sekarang sangat melelahkan, karena ada begitu banyak jenazah tiba setiap hari, jadi aku merasa lelah karena menggali tanpa henti," ujar Minar.