Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gubernur Icikiwir Bermain Drama (3)

15 April 2020   20:45 Diperbarui: 15 April 2020   20:40 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya:  Teater Karbit akan bikin pentas kolosal. Ceritanya tentang ibukota sebuah negeri nun jauh di sana. Tetapi untuk mendapatkan pemeran Gubernur Icikiwir yang pas tidak mudah. 

Tuan Jabrik harus menyeleksi banyak calon. Pendaftar banyak sekali. Hingga tinggal satu calon, yaitu Dul Gendut. Saat proses seleksi muncul Nona Salomania, mantan pacar Tuan Jabrik. Dalam proses seleksi itu Tuan Jabrik murka, Dul Gendut melarikan diri.

*

Wawancara selesai begitu saja. Dul Gendut dinyatakan gagal. Ia ditolak untuk dapat berperan total sebagai Icikiwir. Penilaian yang ada, ia tidak cukup konyol dan lucu sesuai tuntutan peran. Tuan Jabrik memutuskan hal itu, dan disetujui oleh Denmas Sasmito.

Pendaftaran dimulai lagi dari awal. Kali ini pelaksanaannya siang malam. Waktu yang tersisa makin mepet. Bila seleksi tidak cepat-cepat diselesaikan khawatir jadwal pentas harus ditunda tiga bulan lagi.

Beruntung muncul satu nama lain yang sangat potensial. Ia komplet memiliki semua hal yang harus melekat pada sosok fiktif bernama Icikiwir itu. Namanya Mardimun Celeng. Pekerjaan sehari-harinya sebagai penjual bakso celeng keliling.

Oya, sebutan celeng sekadar banyolan yang disematkan pembeli pada namanya. Sebab di kampung itu ada banyak nama Mardimun. Pemilik nama yang sama ada yang mendapat tambahan nama Lutung, Badak, Keong, dan Ubur-ubur. Itu tidak ada kaitan dengan mempermalukan, atau mengejek. Justru untuk gagah-gagahan. Sesuai dengan pekerjaan atau perilaku mereka

"Mardimun?" teriak Tuan Jabrik memanggil orang-orang dalam kerumunan yang sedang berlatih.

"Saya!  Saya! Saya!"

Ada tujuh orang yang mengacungkan telunjuk sekaligus sambil menoleh ke arah orang yang memanggil. Tuan Jabrik bingung, tapi seketika ditemukan cara lain.

"Mardimun Celeng?"

"Saya. . . .!" satu orang saja yang menyahut.

Nah, itu Mardimun yang dicalonkan untuk peran Icikiwir. Sebutan Icikiwir cepat melekat pada namanya. Kalau ada orang memanggil Icikiwir, ia spontan menoleh. Nama Mardimun ditinggalkannya.

*

Entah mengapa, para orang tua di Kampung Cihejo senang banget pada nama Mardimun. Konon dulu itu nama seorang preman yang terkenal kejam, bengis, tapi ampuh. Menjelang ajal ia bertobat, ia berubah drastis menjadi santri, alim, dan sangat dermawan.

Semua kekayaannya ia bagi-bagikan kepada warga, dan ia meninggal dalam keadaan sangat miskin. Sebaliknya warga mampu membuka aneka usaha dan berhasil. Rupanya warga terinspirasi dengan cerita itu. Dan mereka ikhlas menamai anak-keturunan mereka dengan nama Mardimun.

Sampai suatu hari mendadak timbul kegaduhan. Seru, dan agak mengkhawatirkan suasananya. Ternyata betul, kesamaan nama membawa kerumitan. Konon ceritanya terkait dengan si Siti saat mau menikah dengan Mardimun.

Kembang desa itu cantik dan legit, dan banyak pemuda maupun duda yang mau. Pada malam terakhir sebelum diselenggarakan akad nikah tanpa ba-bi-bu belasan Mardimun mengeroyok Mardimun calon pengantin. Padahal paginya ia harus duduk di pelaminan. Seisi desa geger, malam itu suasananya awat, seperti ada tawuran.

Pagi-pagi baru diketahui beberapa Mardimun terluka, sedangkan si pengantin tetap sehat dan tak terluka sedikit pun. Ia bahkan dengan penuh kemenangan duduk di pelaminan, tersenyum-senyum kecil, bersebelahan dengan Siti si kembang desa.

"Semalam kudengar ada keributan, Bang. . ." bisik si Siti di kursi pelaminan. "Ada apa?"

"Keributan? Ya, ada. Memperebutkan kamu. . . . !"

"Lho, bukankah Abang yang menjadi pacarku, melamar, dan kemudian akad nikah serta membiayai resepsi hari ini. . . . !"

"Mereka ingin menggunting dalam lipatan."

"Artinya apa, Bang?"

"Nanti malam Abang jelaskan. Sekarang kita konsentrasi menyalami para tamu saja," bisik Mardimun seraya tertawa, dan menjulurkan kedua telapak tangan untuk menyalami seorang tamu.

Rupanya Mardimun pengantin tak lain seorang polisi. Para Mardimun lain tentu saja terkecoh oleh adanya isu bahwa Mardimun Bandar Kodok yang bakal naik pelaminan, padahal ternyata Mardimun polisi yang di pelaminan.

*

Sayangnya, Mardimun pun gagal. Dalam seleksi peran gubernur ternyata Mardimun Celeng tidak mampu bermain drama. Suara kurang lantang, wajah dan sikap tubuh cenderung feminin. Hafalan dialog pun payah. Ia bukan sosok yang cocok, dan sama sekali beda dengan tuntutan naskah.

Setelah puluhan calon pemeran gubernur diseleksi, ternyata tidak ada satupun yang dapat mengimbangi kemampuan Dul Gendut. Bulat kata, Dul Gendut dipanggil kembali dan ditugasi sebagai Gubernur Icikiwir.

"Sudah kamu saja. Tidak ada pilihan lain. Ternyata kamu yang paling pas. . . . !" seru Tuan Jabrik dengan suara ragu-ragu, kurang senang. Tapi tidak punya pilihan lain. *** (Bersambung)

Gambar:  Gambar

Cerita sebelumnya:

cerpen-gubernur-icikiwir-bermain-drama

cerpen-gubernur-icikiwir-bermain-drama-2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun