Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jumat Ketiga Absen Jumatan

10 April 2020   16:31 Diperbarui: 10 April 2020   16:36 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suami-isteri salat berjamaah di rumah | Gambar diambil dari muslimpouses.tumblr.com

Ah ya, pasti Allah masa tahu atas semua halangan itu. Fatwa ulama memberi jalan ke luar atas bahayanya kerumunan yang memungkinkan tertular Covid-19.

*   

Kembali pada masalah rasa, setiap muslim tentu punya cerita sendiri yang boleh jadi berbeda.

Bayangkan sejak kecil, menjelang baligh (bahasa Arab, artinya "sampai", maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan") yang ditandai dengan dikhitan, setiap muslim tak lepas dari masjid. Walau panas terik, kadang hujan, atau jarak dari rumah yang cukup jauh ke masjid, dijalani saja ritual Jumatan dengan penuh kesadaran.

Dalam perkembangannya kemudian (setelah dewasa dan bekerja), masjid yang dituju sering bangunannya kecil saja, tak jarang tempatnya jauh terpencil, sesekali masjid sangat sederhana, dan lain waktu khotibnya tua menggunakan bahasa daerah yang sulit dipahami. Mengingat kembali sejumlah masjid yang pernah kita jadikan tempat salat Jumat berarti mengenang masa-masa masih berdinas sebagai jurnalis yang harus berkeliling daerah hingga ke pelosok wilayah sebuah provinsi (sesuai dengan wilayah penugasan).

Kenangan saat sandal/sepatu hilang, ketika terlambat datang hingga hanya mendapatkan tempat di emperan masjid, ketika khotib menggunakan bahasa Arab dari awal hingga akhir, ketika berada di atas kapal penumpang yang sewaktu-waktu arah kapal berubah hingga kiblat pun bergeser, dan banyak lagi.

Semua itu menjadi ingatan manis saat saya #dirumahaja hari ini: Jumatan ketiga harus mangkir karena kedaruratan. Ada yang kurang, ada yang terasa hilang.

*

Karena aturan yang jelas dan tegas mengenai ketentuan salat Jumat berjamaah yang membuat sebagian besar masjid (terlebih pada perkampungan padat dan yang letaknya strategis di tepi jalan) dipenuhi umat.

Sebaliknya selain Jumatan, salat wajib pada sebagian warga belum menjadi kebiasaan. Itu sebabnya sejumlah kepala daerah menggiatkan salat berjamaah di masjid dengan aneka program, diantaranya Jumat Keliling, Subuh Berjamaah di Masjid, dan Ayo Salat Berjamaah di Masjid.

Artinya, untuk menyadarkan setiap muslim agar memakmurkan masjid (untuk beberapa kawasan di luar lingkungan pesantren dan perkampungan muslim) harus dibujuk dan coba dibiasakan. Nah, sekarang semua kegiatan itu terhenti, dan tak berarti lagi. Masjid tutup, siang-malam, digembok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun