Kabar bohong dan berita palsu, alias hoaks/fake news, tak pernah berhenti diproduksi. Bangkitnya teknologi informasi yaitu internet serta berbagai platform media sosial telah membuat berita palsu menyebar secepat sangat cepat.
Bersamaan dengan itu tak berhenti pula orang untuk mempercayainya. Apakah ini karena kepiawaian si produsen "barang palsu" itu, atau karena konsumennya sudah kecanduan. Â
Mungkin benar produsennya memang canggih dan mumpuni dalam hal meramu kebohongan. Entah tidak disengaja, atau memang sebagai pekerjaan utama mereka. Yang pasti produk KW itu laris manis, bak pisang goreng panas-panas terhidang dikala senggang.
Ihwan barang palsu tersebut boleh jadi mengikuti tuntutan pasar: kosumen paling demen pada produk berkualitas (kalau perlu dengan brand memadai) dengan harga murah. Kalah dalam ungkapan kuliner murah-meriah ada ungkapan: "rasa bintang lima, harga kaki lima". Tetapi kalau mengenai hoaks mungkin mereka menggunakan dua pepatah yang digabungkan secara semaunya, yaitu: "rasa kaki lima, luntur tidak ditanggung". Maaf, nggak nyambung ya.
*
Tetapi yang terbanyak diulas media mengenai mengapa orang mudah percaya pada hoaks. Bukan mengapa orang memproduksi hoaks. Padahal sumber segala masalah ya para produser hoaks itu. Â
Hoaks dibuat awal-mulanya berawal dari iseng, candaan, dan sikap gagah-gagahan. Tetapi kemudian meningkat menjadi kebutuhan pribadi, menjadi tuntutan kehidupan, dan bahkan kepuasan. Bahkan kemudian tak jelas lagi mengapa ada orang yang secara sosial-ekonomi baik-baik saja, tetapi kehidupan mereka dalam bermedia sosial berubah beringas sebagai produsen hoaks.
Produsen hoaks, sebagaimana produsen produk lainnya, tentu punya maksud dan tujuan sama. Yaitu mencari dan mengejar keuntungan. Baik keuntungan yang boleh diperlihatkan kepada orang lain, atau sekadar keuntungan pribadi dan harus ditutup-tutupi.
Orang lain yang perlu tahu itu bisa saja para teman-kolega-relasi, atau sebaliknya para musuh-pesaing-berseberangan pemikiran, dan tentu para pemilik uang (bila produser hoaks itu orang bayaran).
Produser hoaks yang paling dikenal barangkali dua sosok dibalik sebuah tabloid yang fenomenal pada pilpres lalu. Keduanya mendapat ganjaran bui, dan sudah kembali bebas. Kalau ada yang membayar bukan tidak mungkin mereka kembali pada pekerjaan lama. Bukan tidak mungkin hasil karya keduanya dalam bentuk tulisan pada beberapa nomor terbitan tabloid tersebut mengilhami para produser hoaks generasi berikutnya.
Tetapi yang pasti para produser hoaks bisa siapa saja. Para cerdik-pandai secara akademis dan para pemuka agama pun yang sangat saleh dan alim tidak sedikit yang terjerumus pada pemikiran berdasarkan hoaks. Menyedihkan dan mengherankan.